|
www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id - Manten Kucing |
“Manten Kucing”
Ndudhuk, Ndhudhah, Lan Nggugah Warisan Tradisi Budaya Lokal
Hasanah budaya daerah
merupakan cerminan bagi kebudayaan Nasional. Hal itu merupakan landasan utama
untuk menunjukan jati diri Bangsa Indonesia. Berbagai macam tradisi budaya yang
dimiliki Nusantara ini sangat beragam bentuknya, mulai dari budaya tradisi
Ngaben di Bali , Sekaten di Yogyakarta , upacara Kasada di Bromo, dan budaya
Manten Kucing di Tulungagung.
Prof. S. Budhisantoso
mengungkapkan, bahwasanya setiap kali orang dapat berkata dengan bangganya,
bahwa masyarakat Bangsa Indonesia yang majemuk ini sangat kaya dengan
kebudayaan . Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu dianggap sebagai modal
utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk meningkatkan penghasilan
devisa. Namun demikian tidaklah banyak
orang yang mampu menjelaskan dengan baik di mana ke-bhineka-an
(keragaman) serta ke-unggul-an masyarakat dan kebudayaan di Indonesia yang
tersebar di Nusantara, dari Sa bang sampai Merauke (Zulyani Hidayah, 1999:ix).
Tradisi budaya lokal,
potensinya sangat bagus apabila dikembangkan dengan serius. Sehingga dengan
budaya lokal-Iah kita mampu mewujudkan budaya tingkat Nasional. Realitanya,
banyak generasi muda di daerah tidak memperdulikan bahkan mereka tidak
mengetahui tradisi budaya yang ada didaerahnya. Hal itu membuat keprihatinan
tersendiri, sebab trend mode globalisasi lambat laun memusnahkan pola pikir
anak terhadap tradisi budaya yang ada. Generasi muda lebih suka play station,
game online dari pada melihat festival manten kucing.
Masyarakat yang dibantu
oleh pemerintah , harus mampu menggali (Ndudhuk) potensi asset budaya daerah.
Selain sebagai pendapatan daerah, tentunya budaya daerah tersebut dapat
dijadikan sebagai simbol kedaerahan, atau cirri khas daerah. Ketika sudah
menemukan (Ndudhah) tradisi yang ada maka untuk disegerakan pen gembangan dan
memberdayakannya (Nggugah).
Kita tidak harus
mengadili yang namanya trend globalisasi, sebab kalau kita berpikir secara
aktif, dengan adanya perkembangan zaman tersebut kita mampu memanfaatkannya
untuk mengembangkan budaya tradisi (Nggugah). Seperti halnya mempublikasikan
melalui internet, media elektronik, dan facebook. Sehingga belum tentu
perkembangan zaman ini akan memusnahkan keberadaan budaya tradisi daerah,
melainkan kita harus mampu memanfaatkan perkembangan zaman ini untuk
menumbuhkembangkan budaya tradisi kedaerahan.
Demikian pula seperti
membangkitkan gairah pengembangan dan pemberdayaan tradisi lokal yang identik
sebagai simbolisasi dalam memperkuat budaya Nasional. Manten Kucing, adalah
tradisi budaya yang berada di Desa Pelem, Kecam atau Campurdarat, Kabupaten
Tulungagung.
Tradisi budaya Manten
Kucing ini merupakan tradisi masyarakat untuk meminta diturunkannya hujan,
ketika musim kemarau panjang. Se hingga simbolisasi Manten Kucing ini ialah
ritual untuk meminta hujan. Tradisi yang terkemas dalam wujud budaya, tentunya
bisa dijadikan sebagai media pembelajaran. Orang Jawa, dalam tradisi budayanya
memiliki unsur nilai-nilai tinggi, dan juga penyampaian pesan moral yang
biasanya terwujud dalam bentuk upacara tradisi, seperti halnya; Manten Kucing,
tradisi budaya yang terdapat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat , Kabupaten
Tulungagung ini dilaksanakan upacaranya setiap tahun oleh masyarakat sekitar,
dan juga pemerintah peran serta didalam pelaksanaannya.
Selain dijadikan media
pembelajaran, tentunya upacara tradisi budaya yang ada di daerahdaerah dapat
dijadikan sebagai focus objek wisata loka!. Menggali (Ndudhuk) potensi upacara
tradisi tersebut sangatlah diperlukan, kalau perlu kita mempelajari nilai-nilai
yang terkandung didalamnya. Seperti apa yang diungkapkan oleh Prof. Ayu Sutarta
(2004:176), untuk membangun ketahanan budaya, kita harus menggali dan kemudian
memilah-milah produk-produk budaya yang kita warisi dari para leluhur kita.
Tidak semua produk budaya yang kita miliki konstruktif dan produktif. Ada
beberapa produk budaya yang harus kita tinggalkan, karena tidak lagi sesuai
dengan kebutuhan zaman dan tidak lagi mampu menjawab kebutuhan zaman.
Semakin majunya
teknologi komunikasi di zaman sekarang, penulis merasa takut apabila warisan
budaya tradisi leluhur hanya tersimpan dalam bentuk audio-vidio. Sedangkan
wujud budaya aslinya sudah musnah ditelan perkembangan zaman. Sehingga melihat
kondisi semacam itu, generasi muda juga harus menjadi objek didalam
pembelajaran tradisi budaya. Pengembangan dan pemberdayaan tradisi budaya yang
ada di daerah selayaknya mulai dini dikenalkan kepada generasi muda (pelajar),
salah satunya dengan memuat kurikulum muatan lokal, sanggar budaya, cafe budaya
dan festival budaya.
1. Festival Manten Kucing
Manten Kucing merupakan
tradisi budaya dari daerah Tulungagung. Pada tahun 2010, keberadaan tradisi
budaya Manten Kucing difestivalkan dalam rangka memperingati Hari Jadi
Tulungagung ke-805. Festival Manten Kucing
tersebut di-ikuti 19 (Sembilan belas) kecamatan yang ada di Kabupaten
Tulungagung. Acara tersebut dilaksanakan pada hari kamis, 25 November 2010,
kegiatan festival Manten Kucing tersebut berpusat di kawasan Kota Tulungagung.
Festival tersebut baru
pertama kalinya diadakan di Kabupaten Tulungagung, hal itu untuk memperkenalkan
kepada generasi muda, bahwasanya Manten Kucing adalah tradisi budaya khas
Tulungagung. Tradisi Manten Kucing biasanya diadakan di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat
tersebut merupakan upacara tradisi untuk meminta diturunkan hujan.
Uniknya di festival
tersebut terdapat kolaborasi antara Manten Kucing dengan kesenian lain, antara
Manten Kucing dengan Reog Gendang, Jaranan Jawa dan Hadrah (sholawatan). Sehingga
kolaborasi tersebut mendapat sambuatan hangat dari masyarakat, begitu pula para
pelajar saat festival itu juga ikut serta menonton. Secara tidak langsung akan
menumbuhkan pengetahuan, pemahaman serta mengenali asset budaya tradisi Manten
Kucing.
Dalam satu sisi,
diadakannya festival Manten Kucing ini memang baik untuk memperkenalkan asset
wisata budaya daerah. Namun disisi lain, kesakralan upacara Manten Kucing
didalam festiva l tersebut sudah tidak terasa kesakralannya lagi. Sebab budaya
sudah menjadi tontonan, bukan lagi tuntunan. Penulis merasakan kesakralan
upacara Manten Kucing saat mengikuti prosesi upacara di Desa Pelem, Kecamatan
Campurdarat. Sehingga simpulan sederhana adalah kita harus mampu untuk
memilah-milah didalam mengembangkan dan memberdayakan asset wisata daerah, agar
nilai-nilai dan pesan moralnya tidak hilang, bukan hanya sekedar hiburan.
Pergeseran nilai yang
sangat mengkhawatirkan tersebut dapat kita lihat jelas, karena menggejala
secara mencolok di sekitar kita, yang antara lain adalah; (1). Nilai moral
lebih murah daripada nilai materi; (2). Tuhan terasa jauh dan uang terasa
dekat; (3). Produk-produk budaya asing lebih digandrungi daripada produk-produk
budaya sendiri; (4). Kepentingan agama, politik, dan ekonomi dicampur adukan, sehingga
batas-batasannya menjadi jelas; (5). Kekerasan sering digunakan untuk
menyelesaikan perbagai persoalan dalam masyarakat (Ayu Sutarta, 2004:173).
Sehingga untuk Ndudhuk,
Ndhudhah dan Nggugah asset budaya daerah harus memiliki konsep yang matang. Mengembangkan
dan memberdayakan asset budaya daerah tidak harus mengorbankan unsur
nilai-nilai positif yang sudah ada. Dari dulu hingga sekarang, budaya adalah
pembelajaran yang . konkrit dan fleksibel.
2. Selayang Pandang Manten
Kucing
Mengenai sejarah keberadaan
Manten Kucing , penulis merangkainya dari beberapa sumber yang penulis anggap
masih berkompeten. Tradisi budaya Manten Kucing ini berada di Desa Pelem,
Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Menurut warga sekitar Desa Pelem,
bahwasanya tradisi budaya Manten Kucing ini selalu diselenggarakan setiap
tahun, dan juga penuh dengan kesakralan.
Uniknya didalam upacara
tradisi Manten Kucing ini adalah sepasang kucing jantan dan betina. Awalnya
daerah Desa Pelem dan sekitarnya dahulu kala dilanda kemarau panjang, hingga
warga kesulitan untuk mendapatkan air. Eyang Sangkrah adalah tokoh yang
membabat Desa Pelem, suatu ketika Eyang Sangkrah mandi di sebuah telaga, yaitu
Telaga Coban.
Ketika Eyang Sangkrah
mandi di Telaga Coban, Beliau membawa serta seekor kucing di telaga tersebut.
Kucing Condro Mowo, sebutan kucing yang dibawa oleh Eyang Sangkrah, setelah di
Telaga Coban kucing tersebut dimandikan. Anehnya, sepulang dari mandi di Telaga
Coban, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Warga yang lama menunggu
turunnya hujan, tidak bisa menyembunyikan perasaan syukur dan bahagia. Saat
itulah, warga menyakini turunnya hujan tersebut ada kaitannya dengan peristiwa
Eyang Sangkrah yang memandikan Kucing Condro Mowo. Sehingga tradisi tersebut
menjadi tradisi, yang setiap tahun diselenggarakan oleh warga Desa Pelem ,
dengan sebutan tradisi budaya “Manten Kucing”.
Ketika Desa Pelem
dijabat oleh Demang Sutomejo, tahun 1926, Desa Pelem , Kecamatan Campurdarat
kembali dilanda kemarau panjang. Saat itu Demang Sutomejo mendapatkan wangsit
(petunjuk) untuk mengadakan upacara memandikan kucing di Telaga Coban. Maka,
dicarilah dua ekor kucing Condro Mowo. Kemudian, dua ekor kucing itu dimandikan
di Telaga Coban . Akhirnya beberapa hari kemudian turunlah hujan mulai mengguyur
di Desa Pelem dan sekitarnya.
Prosesi Manten Kucing
ini, awalnya warga Desa Pelem mempersiapkan uburampe atau persiapan untuk
mengadakan upacara Manten Kucing. Setelah persia pan selesai, maka prosesi
kemudian adalah mengkirap kucing Condro Mowo yang diwadahi didalam keranji.
Adapun kucing yang dimaksud didalam prosesi tersebut adalah berwarna putih dan
hitam, yang terdiri dari kucing lanang (jantan) dan kucing wadon (perempuan).
Saat pengkirapan tersebut, kucing lanang lan wadon berada di barisan paling
depan sendiri, setelah itu di-ikuti oleh para sesepuh dan tokoh desa. Para
sesepuh dan tokoh desa tersebut juga memakai pakaian khas adat Jawa.
Setelah sampai di
Telaga Coban, kucing Condro Mowo dimandikan secara bergantian, sebelum
ditemukan layaknya manten manusia. Kucing Condro Mowo tersebut dimandikan
dengan air telaga yang dicampur dengan kembang setaman yang sudah dipersiapkan
terlebih dahulu.
Usai dimandikan, kedua
kucing itu diarak menuju lokasi pelaminan. Di pelaminan tersebut sudah
disiapkan aneka uburampe, pasangan kucing jantan dan betina itu dipertemukan.
Laki-Iaki dan perempuan yang membawa kucing Condro Mowo, duduk bersandingan di
kursi pelaminan. Sedangkan kucingnya, berada di pangkuan laki-Iaki dan
perempuan yang juga memakai pakaian pengantin. Upacara pernikahan “Manten
Kucing” tersebut ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan oleh sesepuh
desa setempat. Kurang lebih 15 (lima belas) menit upacara tradisi budaya Manten
Kucing sudah selesai.
Uniknya pad a tahun
2007, atau tiga tahun yang lalu ketika upacara tradisi Manten Kucing digelar,
terdapat kearifal lokal yang dimunculkan. Ketika dipertemukan antara kucing
jantan dan kucing betina, orang yang sudah tua (sesepuh) duduk dipelaminan
sambil menyanyikan lagu-Iagu tradisional, seperti;
Uyek-Uyek RantiOno Bebek Pinggir KaliNuthuli Pari Sak UliTithit Thuiiit .. .
Kembang Opo?Kembang-Kembang MenurDitandur Neng Pinggir
SumurYen Awan Manjing Sak
DhulurYen Bengi Dadi Sak
Kasur
Setelah selesai prosesi
Manten Kucing tersebut, maka acara selanjutnya adalah pagelaran seni budaya.
Pagelaran seni tersebut adalah Tiban dan Langen Tayup. Kesenian Tiban disini
adalah kesenian yang menggunakan cambuk yang terbuat dari lidi pohon aren yang
dipilin sebagai alatnya. Ketika salah satu pemain Tiban tersebut mengeluarkan
darah segar, maka menandakan prasyarat bahwa hujan akan turun.
Sehingga mulai dari
prosesi Manten Kucing, Tiban, dan Langen Tayub, merupakan kesatuan ritual untuk
memohon diturunkannya hujan. Tradisi budaya semacam itu merupakan simbolisasi
nilai-nilai kearifan lokal orang Jawa. Saat ini tradisi budaya Manten Kucing
bukan semata-mata meminta hujan,melainkan sudah menjadi upacara tradisi yang
diadakan setiap tahun. Kalau tidak diselenggarakan, maka warga takut kalau
terjadi kemarau panjang, maupun bala bencana melanda.
3. Konsep Tradisi Budaya
Tradisi budaya,
merupakan dua suku kata, yaitu tradisi dan budaya. Sehingga dua suku kata
tersebut merupakan gabungan kata yang menunjukan suatu keselarasan, yaitu;
tradisi budaya. Menurut Kamus Lengkap Bahasa ‘Indonesia (Hoetomo, 2005:550),
Trebekula adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih
dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa caracara yang telah
ada merupakan cara yang paling baik dan benar, mentradisi: menjadi tradisi.
Tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu
berpegang teguh pad a norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun;
menurut tradisi (adat). Adapun tradisionalisme adalah paham (ajaran dan
sebagainya) yang berdasarkan pada tradisi.
Masyarakat adalah salah
satu pencipta budaya, setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda. Sehingga
dengan budaya, dapat membedakan antara masyarakat satu dengan masyarakat
lainnya. Disetiap masyarakat yang berbudaya akan menampakkan ciri khas yang
berbeda, seperti; Manten Kucing dari Tulungagung , didalam upacaranya .
menggunakan kucing sebagai media upacara. Kebudayaan mencakup suatu pemahaman
komprehensif yang sekaligus bisa diurai dan dilihat beragam variab le dan cara
pemahamannya. Kebudayaan dalam arti suatu pandangan yang menyeluruh menyangkut
pandangan hid up, sikap, dan nilai. Atau menurut deskripsi Raymond Williams,
“General state or habit of the mind general state of intellectua’l development
in a society or a whole”. Disebutnya pula, “The general body of arts. A whole
way of life, material, intellectual, spiritual”. (Jakob Oetam~, 2009:9, dalam
bunga rampai judul buku Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat Memorial Lectures
I-V/2004-2008, Perspektif Budaya). Budaya orang Jawa, selalu menitikberatkan
akan pentingnya pembentukan moral yang baik. Moral merupakan kunci utama untuk
membentuk kepriadian manusia yang berbudi luhur. Sehingga Nampak sudah budaya
orang Jawa itu selalu menunjukkan nilai-nilai dan pesan moral positif. Dari
berbudaya yang baik, maka akan menghasilkan nilai positif bagi masyarakat.
Kebudayaan orang Jawa selalu menampakkan nilai norma-norma positif yang
dipegang teguh dalam kehidupan keseharian .
Kata budaya berasal
dari kata Sankseke rta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata budhi yang
berarti budi atau akal. Dalam bahasa asing lainnya terdapat kata-kata seperti
culture (Inggris), cultuur (Belanda), atau kultur (Jerman). Kata-kata itu
sebenarnya berasal dari bahasa Latin colere yang berarti pemeliharaan,
pengolahan , dan penggarapan tanah menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan,
katakata itu juga diberi arti “pembentukan dan pemurnian “, misalnya
pembentukan dan pemurnian jiwa. Menurut kaidah bahasa, culture atau cultuur
diartikan menjadi “budaya”, sedangkan cultural atau culturele menjadi
“kebudayaan “. Budaya merupakan kata benda, sedangkan “kebudayaan” adalah kata
sifat (Mochamoed Effendhie, 2000: 1).
4. Simpulan
“Manten Kucing”
merupakan tradisi budaya yang terdapat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat,
Kabupaten Tulungagung. Upacara prosesi Manten Kucing tersebut, terdapat
nilai-nilai yang terkandung didalamnya, selain itu mempunyai pesan moral,
seperti halnya; kita juga harus bersahabat dengan alam dan sekitarnya, guyub
rukun dan saling tolong menolong.
Tradisi Manten Kucing
sendiri pad a tahun 2010 yang bertepatan dengan Hari Jadi Tulungagung ke-805,
dijadikan festival budaya. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan tradisi budaya
Manten Kucing kepada khalayak umum, khususnya pelajar bahwasanya di Tulungagung
terdapat tradisi · budaya Manten Kucing.
Adapun nilai-nilai yang
dapat penulis tangkap dari prosesi Manten Kucing , diantaranya; Pertama,
manusia memang diberi kelebihan oleh Sang Pencipta yang mempunyai, akal
pikiran, budi pekerti, nalar, rasa dan karsa. Sehingga mewujudkan diri untuk
memilik budaya positif. Sehingga dengan berbudaya yang baik, akan memberikan
norma-norma positif di masyarakat.
Kedua, dengan adanya
tradisi budaya Manten Kucing tersebut, warga saling dapat tolong menolong,
hormat menghormati diantaranya. Sehingga kerukunan dan keselarasan hidup
menjadi damai, tenang, dan sejahtera. Didalam prosesi Manten Kucing sendiri
masyarakat diajak untuk Guyup Rukun.
Sebenarnya selain
menjadi media pembelajaran, keberadaan Manten Kucing bisa dijadikan sebagai
objek wisata loka!. Keberadaan asset wisata daerah itulah, maka akan menyokong
keberadaan budaya Nasional. Dengan berbudaya yang baik, maka kita akan menjadi
sosok manusia, masyarakat atau bahkan Negara yang berbudi luhur, saling
menghormatu, tolong menolong, jujur dan sopan. Masyarakat Indonesia, khususnya
di daerah-daerah dahulu terkenal dengan keramahtamahannya. Akankah dengan
berbudaya baik, kita mampu mewujudkan sifat ramah dan tamah?
Sehingga istilah
Ndudhuk, Ndhudhah dan Nggugah, merupakan rangkaian dalam menggali, menemukan
dan mengembangan serta memberdayakan potensi budaya yang ada di daerah.
Perkembangan zaman seperti sekarang ini, membuat tantangan tersendiri bagi kita
untuk mampu mengolah perkembangan zaman itu untuk menumbuhkan asset budaya
loka!. Berkat akal, pengalaman, dan kesadaran nurani, maka kita harus bergerak
untuk mengolah potensi daerah menjadi asset yang berharga dan mempunyai nilai
pendidikan.
Secara teoritis, kebudayaan
akan mengajarkan nilai-nilai yang baik dan juga mencerminkan normanorma positif
bagi generasi muda. Tinggal generasi muda (pelajar) mampu atau tidak untuk
menangkap nilai yang terkandung didalam kebudayaan. Sebab kebudayaan sekarang
ini sekedartontonan, bukan lagi sebagai tuntunan, realita yang ada.
Oleb Agus Ali Imron Al AkhyarStaf
Peneliti Kajian Sejarah,Sosial dan Budaya{KS2B}Kabupaten TulungagungBENDE,
Media Informasi Seni dan Budaya, Edisi 87,
Januari 2011