Minggu, 08 Oktober 2017

Kusbini, Pencipta Lagu Bagimu Negeri

www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id - Kusbini
1 Januari 1910, Kusbini  lahir di Desa Kemlagi, Mojokerto, Jawa Timur. Indonesia.
Kusbini adalah tokoh musik kroncong era 1930 – 1955 yang legendaris, bersama Annie Landouw, Gesang, S. Abdoellah, Miss Roekiah, dll.
Kusbini, memulai kariernya bersama Jong Indisce Stryken Tokkel Orkest (Jitso), sebuah kumpulan musik keroncong di Surabaya.
Kusbini mengikuti pendidikan musik Apollo di Malang. Karena tidak puas dengan pengetahuan musik yang didapatnya secara otodidak, Sambil belajar, Kusbini tampil sebagai  penyanyi keroncong dan pemain biola pada siaran Nirom dan Cirvo di Surabaya. Kusbini mendapat julukan ‘buaya keroncong’.
Kusbini berhasil menciptakan lagu Bagimu Negeri, lagu fenomenal yang tetap dikumandangkan hingga saat ini karena lagunya sanggup membangkitkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia. Kusbini pejuang kemerdekaan yang berjuang lewat karya lagu.
Lirik lagu Bagimu Negeri, Entah disengaja oleh sang komponis atau rahmat Allah, lagu ini terdiri atas 8 kata yang diulang sebagian dan seluruhnya sebanyak 17 kata. Pembaca punya inspirasi positif bagi negeri Indonesia tentang angka 8 dan 17?
Lirik lagu Bagimu NegeriPadamu Negeri Kami BerjanjiPadamu Negeri Kami BerbaktiPadamu Negeri Kami BerjanjiBagimu Negeri Jiwaraga KamiPadamu Negeri Kami BerjanjiPadamu Negeri Kami BerbaktiPadamu Negeri Kami BerjanjiPadamu Negeri Jiwaraga Kami!!!
Tahun 1920 – 1960, di era “Keroncong Abadi” Kusbini merupakan tokoh penyanyi dan komponis Indonesia.
Tahun 1935 hingga 1939, Kusbini menjadi pemain musik dan penyanyi untuk perusahaan rekaman piringan hitam Hoo Soen Hoo.
Tahun 1937 – 1942,  Kusbini aktif  menyanyi dan main musik keroncong bersama Annie Landouw, S. Abdoellah, Gesang.
Kusbini  pada masa Hindia Belanda menuliskan kembali (transkrip) lagu keroncong Telomoyo, Serta menciptakan puluhan lagu keroncong, diantaranya: Keroncong Purbakala, Pamulatsih, Bintang Senja Kala, Keroncong Sarinande, Keroncong Moresko, Dwi Tunggal, Nina Bobo, Ngumandang Kenang dan keroncong Purbakala.
Tahun 1941, Kusbini namanya semakin dikenal. Terutama saat dia mulai mendalami dan berkarya lewat lagu-lagu keroncong dan stambul. Saat itu ia mendapat kesempatan untuk bermain film dimana sejumlah lagu digunakan untuk mengisi musik yang khusus diciptakan untuk film Jantung Hati dan film Air Mata Ibu.
Tahun 1942, Kusbini pada masa pendudukan Jepang, sempat bekerja di Radio Militer Hooso Kanri Kyoku dan Pusat Kebudayaan Jepang di bidang musik. Pada masa itu Kusbini banyak bekerja sama dengan Komponis  Ismail Marzuki, Cornel Simanjuntak, Sastrawan, Redaktur Balai Pustaka, Sanusi Pane, dan seniman lainnya.
Tahun 1945 – 1952,  Kusbini menciptakan lagu perjuangan bersama C.Simanjuntak, Ismail Marzuki, L. Manik, dll. Lagunya “Bagimu Negeri” merupakan lagu wajib perjuangan.
Tahun 1950, Kusbini kemudian bekerja di P&K Yogyakarta untuk urusan musik.
Tahun 1954, Kusbini merupakan pendiri SMINDO  (Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta milik Pemerintah – yang kemudian menjadi AMI dan ISI Yogyakarta). Selain itu, ia mendirikan SOSI (Sekolah Olah Seni Indonesia) yang sekarang diasuh dan diteruskan oleh anak-anaknya.
Tahun 1952 – 1956, Kusbini memenangkan pemilihan lagu keroncong, yaitu Kr. Pastoral. Pada Pemilihan Bintang Radio dan juga Lagu Keroncong, Yang dilenggarkania RRI (Radio Republik Indonesia).
Tahun 1971, SOSI (Sekolah Olah Seni Indonesia) dibangun itulah, oleh anak-anak Kusbini SOSI memberikan pengajaran keterampilan bermusik kepada para murid, seperti piano dan biola.
Tahun 1972,  Pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahi Kusbini Piagam Seni.
Tahun 1976, Kusbini mendapat penghargaan dari Departemen Keamanan Komando Wilayah Pertahanan II.
Kusbini mendapat penghormatan dari Pemerintah Daerah Yogyakarta nama jalan di depan rumahnya Jl. Jetishardjo dirubah menjadi Jl. Kusbini. Rumahnya yang ada di jalan Kusbini 25. Saat ini digunakan sebagai sekolah musik Sanggar Olah Seni Indonesia (Sosi). TV Yogyakarta juga pernah membuat Film pendek mengenai riwayat hidup beliau.
Kusbini, selain mengarang lagu Bagimu Negeri juga mengarang lagu-lagu lain bertemakan semangat kemerdekaan, diantaranya Cinta Tanah Air, Merdeka, Pembangunan, Salam Merdeka. Sedangkan lagu yang berjudul  Kewajiban Manusia adalah satu-satunya lagu yang bertemakan semangat merdeka berirama keroncong. Lagu-lagu ini menggugah semangat bangsa Indonesia untuk menggalang persatuan demi mencapai kemerdekaan.
Tahun 1996,  Penerbit Musik Pertiwi (PMP) memberikan royalty atas lagu-lagu karangan Alm Kusbini. Royalty itupun diberikan langsung oleh General Manager PMP Andy Hutadjulu kepada ahli waris Alm Kusbini di rumahnya Jl Kusbini 25 Yogyakarta.
Kusbini  mendapatkan Royalty merupakan hasil penjualan kepingan compact disk/kaset yang terjual di dalam maupun di luar negeri melalui mekanisme undang undang no 19 tahun 2002 tentang hak cipta dan memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku.
Kusbini ikut menyempurnakan teks lagu kebangsaan Komponis, Wartawan, Guru
wartawan, Guru Indonesia Raya ini memperoleh penghormatan dari pemerintah berupa Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia.
Kusbini ber-Istri-kan Ny. Ngadiyem serta dianugerahi 11 anak. Nama Putra dan Putri : Eka Ksvara, Dwi Ksvara, Tri Ksvara, Catur Ksvara, Titi Panca Ksvara, Titi Sad Ksvara, Sapta Ksvara, Titi Asta Ksvara, Nowo Ksvara, Dasa Ksvara, Titi Asih Ksvara.
28 Februari 1991,  pada umur 81 tahun Kusbini wafat di kediamannya yang sederhana di Pengok, Yogyakarta dan dikebumikan dengan iringan musik lagu Perdamaian yang diciptakannya sendiri.
Januari-Desember 2008, Andy menyerahkan royalty kepada ahli waris Alm Kusbini. Royalti yang diberikan PMP kepada ahli waris Kusbini itupun sebanyak Rp 36.287.648.
Lagu-lagu ciptaan Kusbini merupakan warisan kekayaan intelektual.
Kusbini pengarang lagu dan pemain musik khususnya biola pada jaman Presiden RI Pertama, Soekarno. Bakat dan kepiawaian Kusbini dilirik oleh Soekarno untuk bisa bergabung dalam Panitia lagu kebangsaan Indonesia raya bersama WR Suprtaman, Sanusi Pane, Muh Yamin, C Simanjuntak dan Ibu Soed.

Tahun 2011, Kusbini mendapat penganugerahan gelar maestro dibidang seni musik dipilih Taman Budaya Yogyakarta dalam rangka memberikaan penghargaan terhadap tokoh seniman di Yogyakarta, yang telah bjasa menjaga dan melestarikan seni dan budaya, baik itu lokal, nasional, dan internasional.

Mbah Kuwu Tokok Babad Alas Islam Cirebon

www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id - Gerbang Makam Mbah Kuwu
Cirebon merupakan salah satu daerah sentral penyebaran Islam di Jawa Barat. Selama ini masyarakat masyhur hanya mengenal Syarif Hidyatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai tokoh utama penyebar Islam di Jawa Barat, salah satunya di Cirebon.
Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, tokoh babad alas Islam di Cirebon atau orang yang pertama kali membangun pondasi keislaman adalah Mbah Kuwu Sangkan (lahir sekitar 1423 masehi). Atas peran sentralnya itu, Tim Anjangsana Islam Nusantara STAINU Jakarta bergerak menelusuri jejak Mbah Kuwu di daerah Cirebon Girang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Senin (23/1/2017).
Menurut Peneliti Pusat Kajian Cirebon (Cirebonesse) IAIN Syekh Nurjati Mahrus el-Mawa, Mbah Kuwu merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. “Masyarakat mengenal Mbah Kuwu sebagai uwa-nya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,” ujar Mahrus yang juga Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini.
Dalam berbagai literatur menurut Mahrus, Mbah Kuwu mempunyai 5 nama yaitu Pangeran Cakrabuana, Walang Sungsang, Haji Abdullah Iman, Syekh Somadullah, dan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon Girang itu sendiri.
Mbah Kuwu Sangkan terlahir tiga bersaudara, yakni Mbah Kuwu Sangkan, Raden Kiansantang, beserta Nyai Rarasantang dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang.
Sebagai Putra Mahkota, Mbah Kuwu mewarisi sifat kepemimpinan ayahandanya, Prabu Siliwangi. Hal ini terbukti dari pencapaiannya yang berhasil menduduki takhta Cirebon di bawah Kerajaan Pasundan yang saat itu dipimpin Raja Galuh, dan Mbah Kuwu merupakan raja pertama.
Perjuangan Mbah Kuwu membangun Cirebon dan menyebarkan Islam dimulai pada usianya yang kala itu masih menginjak 25 tahun. Ia mulai berdakwah, hingga mencapai puncaknya saat ia menduduki singgasana kerajaan Cirebon, dari situ ia memiliki kekuatan untuk memperluas wilayah dakwahnya.
Semasa hidup, Mbah Kuwu memiliki dua istri, yakni Nyi Endang Golis dan Nyai Ratna Lilis. Dari pernikahannya dengan Nyi Endang Golis dianugerahi keturunan Nyi Pakung Wati yang kelak menjadi salah satu pendamping Syekh Syarif Hidayatullah.
Syekh Syarif  Hidayatullah sendiri merupakan putra dari Nyai Rarasantang, adik Mbah Kuwu Sangkan. Sedangkan dari pernikahannya dengan Nyai Ratna Lilis dianugerahi seorang putra bernama Pangeran Abdurrokhman.
Menurut beberapa catatan sejarah, Mbah Kuwu Sangkan menyukai sejumlah hewan, yakni kucing Candra Mawa, Macan Samba, dan Kebo Dongkol Bule Karone. Ketiga hewan tersebut diyakini sudah punah dan sekarang menurut kepercayaan orang setempat ketiga hewan itulah yang menjaga makam Mbah Kuwu.
Bentuk dari ketiga hewan tersebut dapat dilihat pada patung-patung hewan yang ada di sekitar lokasi makam. Mbah kuwu menetap di daerah Cirebon Girang, Talun sampai akhir hayatnya pada tahun 1500-an Masehi atau abad 16 awal. Sumber sejarah lain menyebut, Mbah Kuwu Sangkan wafat tahun 1529 Masehi.

Pelopor kebudayaan Pasundan Islami
Selain Panglima Ulung, Mbah Kuwu Sangkan adalah Pelopor Kebudayaan pasundan Islami. Dalam masa 4 abad lamanya yaitu menaklukkan Pajajaran, Keraton Ayahandanya yang Hindu. Karena itu ia diberi gelar kehormatan Pangeran Cakrabuwana.
Pangeran Cakrabuwana mulai memerintah Cirebon pada 1 Suro tahun 1445 Masehi. Waktu itu ia belum mencapai usia 22 tahun. Memang masih terlalu muda, tetapi ia mampu memegang kendali pemerintahan selama 38 tahun sejak tahun 1445 Masehi hingga tahun 1479 Masehi.
Mbah Kuwu juga memiliki kriteria kepeloporan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban yang sangat tinggi. Ia senantiasa menaruh perhatian besar terhadap berbagai macam Ilmu Pengetahuan, Sastra dan Seni Budaya, melestarikan dan mengembangkannya.
Ayahnya, Prabu Siliwangi telah mencurahkan perhatian dan mendidiknya dengan Ilmu kemiliteran, politik dan kesaktian sejak kecil. Demi mencerdaskan anaknya, ia diserahkan kepada ulama-ulama besar pada zamannya yang menguasai bidang kajian Ilmu Agama Islam, Sastra, Falak dan Kesaktian. Mereka adalah Syekh Qurotullain, Syekh Nurjati, Syekh Bayanillah, Ki Gde Danuwarsi, Ki Gde Naga Kumbang, dan Ki Gde Bango Cangak.
Dakwah Islam mulai menyebar luas di daerah Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang, Sumedang, Purwakarta, Karawang, Priangan, Bogor yang kemudian mengalir ke Banten.
Dari proses dakwah tersebut, wilayah Keraton Cirebon menjadi satu antara bagian utara dan selatan, antara Cirebon dan Banten. Kemudian, Ibu Kota Kerajaan Cirebon dipindahkan ke Lemah Wungkuk. Di sana lalu didirikan Keraton baru yang dinamakan Keraton Pakungwati.
Beberapa sumber setempat menyebut, pendiri Keraton Cirebon adalah Pangeran Cakrabuwana. Namun, orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah Kesultanan adalah Syekh Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati. Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuwana atau Mbah Kuwu Sangkan.

Di depan makam sebelum memasuki gerbang, ada bangunan bernama Palinggihan Ichsanul Kamil. Bangunan berwarna merah dan dikelilingi oleh pagar bercorak khas Islam di wilayah Cirebon itu merupakan tempat meditasi Mbah Kuwu Sangkan untuk berinteraksi dengan Tuhannya. Palinggihan sendiri berasal dari kata lungguh yang berarti "duduk".

Sumber : NU

Kiprah Dr. Soetomo

www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id - Dr. Soetomo
Suatu hari di akhir tahun 1907 dokter pensiunan Wahidin Sudirohusodo singgah di Jakarta, beliau sedang melakukan perjalanan ke berbagai daerah dalam rangka mempropagandakan gagasannya tentang pembentukan sebuah badan yang akan menyediakan bea siswa untuk anak-anak Indonesia yang cerdas tetapi tidak mampu membiayai sekolahnya.
Gagasan Wahidin itu sudah tersebar agak luas, juga di kalangan pelajar STOV1A (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen). Dua orang di antara para pelajar itu mendapat kesempatan bertemu dan berbicara dengan Wahidin.
Mereka sangat tertarik mendengar cita-cita Wahidin, salah seorang di antara pelajar itu mengatakan kepada Wa¬hidin, ”Punika satunggiling pedamelan sae sarta nelakaken budi utama” (itu suatu perbuatan baik dan menunjukkan budi yang utama).Pelajar STOVIA yang mengucapkan kata-kata itu adalah Sutomo yang kemudian terkenal dengan nama dokter Sutomo. la lahir pada tanggal 30 Juli 1888 di desa Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur.
Waktu lahir beliau diberi nama Subroto. Pergantian namanya menjadi Sutomo mempunyai sejarahnya sendiri.Ayahnya R. Suwaji bekerja sebagai wedana di Maospati, Madiun, kemu¬dian pindah bekerja menjadi ajun jaksa di Madiun. Anaknya tersebut disekolahkan pada Sekolah Rendah Bumiputera, kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur agar dapat masuk Sekolah Rendah Belanda (ELS = Europeesche Lagere School) Anak itu ikut pada pamannya, Harjodipuro. Putera pamannya, Sahit, berhasil masuk ELS, tetapi Subroto tidak diterima. Pamannya tidak putus asa, esok harinya keponakannya yang ditolak masuk ELS itu dibawanya lagi ke sekolah itu. Tidak dengan nama Subroto, tetapi diganti nama men¬jadi Sutomo. Dengan nama itu beliau diterima di ELS. Setelah tamat pada ELS, beliau mengikuti keinginan ayahnya melanjutkan ke STOVIA.Di STOVIA pada mulanya beliau tidak begitu memperhatikan pelajarannya. Kesenangannya ialah menonton dan makan enak bersama teman-temannya. Barulah pada tahun ketiga sikapnya berubah dan beliau pun belajar dengan sungguh-sungguh. Beliau lulus dari STOVIA pada tahun 1911.Tetapi sebelum itu, Sutomo telah melakukan sesuatu yang membuat namanya akan tercatat dalam sejarah bangsanya. Kurang lebih empat bulan sesudah bertemu dengan dokter Wahidin, beliau memimpin pertemuan yang dihadiri oleh para pelajar STOVIA.
Sutomo berpidato dengan tenang tanpa emosi, menjelaskan gagasannya secara singkat, terang dan jelas. Pertemuan yang bersejarah itu dilangsungkan di salah satu ruang STOVIA pada tanggal 20 Mei 1908. Dalam pertemuan itu mereka sepakat membentuk sebuah organisasi yang diberi nama ”Budi Utomo”. Sutomo dipilih sebagai ketuanya. Organisasi itu adalah organisasi modern pertama yang didirikan di Indonesia. Hari lahirnya, 20 Mei, kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena ternyata Budi Utomo telah mendorong berdirinya organisasi-organisasi bahkan partai-partai politik di kemudian hari. Gedung STOVIA di mana Budi Utomo lahir sekarang menjadi ”Gedung Kebangkitan Nasional”.
Budi Utomo tidak lahir begitu saja dan Sutomo tidak bekerja seorang diri. Bersama Sutomo terdapat nama-nama lain seperti Suraji, yang ikut bersama Sutomo menemui dr. Wahidin, Moh. Saleh, Sarwono, Gunawan, Gumbrek dan Angka yang kelak semuaya menjadi dokter. Berbulan-bulan lamanya mereka merencanakan pembentukan sebuah organisasi. Mereka pergi dari ruang kelas yang satu ke ruang kelas yang lain di STOVIA untuk memperkenalkan gagasan mendirikan organisasi, dalam kegiatan itu Sutomo lah yang banyak berbicara.
Berdirinya Budi Utomo dapat dianggap sebagai realisasi gagasan Wahi¬din . Tetapi jangkauan organisasi itu melebihi dari apa yang dimaksud oleh Wahidin. Budi Utomo tidak hanya ingin memajukan pelajaran, tetapi juga pertanian, pertukangan kayu, kulit dan lain-lain, disamping memajukan kebudayaan Jawa serta mempererat persahabatan penduduk Jawa dan Madura. Di bidang pendidikan Budi Utomo bertujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah, rumah-rumah sewaan untuk anak-anak sekolah/asrama dan mendirikan perpustakaan-perpustakaan.
Untuk merealisasi maksud dan tujuan itu, Sutomo dan kawan-kawannya mengadakan hubungan dengan pelajar-pelajar dari kota-kota lain. Dengan cara demikian berdirilah cabang-cabang Budi Utomo di Bogor, Bandung dan Magelang. Hubungan diadakan pula dengan orang-orang Indonesia yang menduduki jabatan dalam pemerintahan di daerah-daerah untuk menarik simpati mereka, antara lain dengan Bupati Temanggung, Bupati Japara, Banten, dan P.A.A. Kusumojudo yang tinggal di Jakarta.
Organisasi yang semula dipimpin oleh anak-anak muda yang idealis ini akhirnya dipimpin oleh golongan tua, sebagai hasil keputusan Kongres yang pertama pada awal Oktober 1908 di Yogyakarta. Dalam kongres itu sudah nampak perbedaan pendapat antara golongan muda yang radikal dengan golo¬ngan tua yang terlalu berhati-hati, karena itu gerak organisasi menjadi lamban.
Dalam Kongresnya yang kedua pada bulan Oktober 1909 Sutomo masih nampak hadir, tetapi setelah itu namanya hampir-hampir tidak disebut-sebut lagi di dalam Budi Utomo. Agaknya beliau merasa kecewa melihat perkembangan Budi Utomo, karena itu beliau lebih memusatkan perhatian kepada pelajaran. Dalam tahun 1911 Sutomo berhasil menyelesaikan pendidikannya di STOVIA dan sejak saat itu pula beliau berhak memakai gelar dokter, maka mulailah tugasnya sebagai dokter. Mula-mula beliau ditempatkan di Semarang, tetapi kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain seperti Tuban, Lubuk Pakam (Sumatera Timur), Malang, Blora dan Baturaja (Sumatera Selatan). Dalam tahun 1919 beliau mendapat kesempatan belajar di Negeri Belanda. ke¬mudian di Jerman Barat dan Austria.
Sewaktu di Negeri Belanda Sutomo menggabungkan diri ke dalam ”Indische Vereeniging”’, perkumpulan pelajar-pelajar Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi ”Indonesische Vereniging” dan akhirnya menjadi Perhimpunan Indonesia. Beliaupun pernah menjadi ketua organisasi ini, yakni tahun 1920-1921.
Sekembalinya dari Negeri Belanda, Sutomo bekerja sebagai dosen di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) di Surabaya. Budi Utomo tidak lagi menarik perhatiannya, walaupun pernah diancam akan dikeluarkan dari STOVIA gara-gara mendirikan organisasi tersebut. Tetapi perhatiannya terhadap perkembangan masyarakat tidak pernah surut. Hanya;cara yang ditempuhnya sekarang berbeda. Beliau bermaksud menghimpun golongan terpelajar dan bersama-sama dengan mereka melakukan usaha-usaha yang berguna bagi ma¬syarakat. Untuk maksud itu pada tanggal 11 Juli 1924 Sutomo mendirikan ”Indonesische Studie Club ” (ISC). Tujuan ISC ialah mempelajari dan memperhatikan kebutuhan rakyat. Organisasi ini ternyata menarik perhatian kaum terpelajar, bukan saja cendekiawan Indonesia, tetapi juga cendekiawan Belan¬da, yakni Koch dan Tilleman yang terkenal berpendirian progresif.
Kegiatan dan kedudukan Sutomo dalam masyarakat membawa beliau ke jenjang politik praktis. la diangkat menjadi anggota Dewan Kota (Gemeen-teraad) Surabaya. Dalam dewan ini beliau memperjuangkan nasib rakyat antara lain mengusulkan perbaikan kesehatan dan nasib mereka, tetapi usul-usulnya selalu dikalahkan oleh suara terbanyak yang tidak berorientasi kepada rakyat, tetapi kepada pemerintah kolonial. Ketika usulnya mengenai perbaikan kampung ditolak, sedangkan usul menambah kebersihan dan perbaikan tempat kediaman orang-orang Belanda diterima, dr. Sutomo langsung meminta berhenti dari keanggotaan Dewan Kota. la berpikir tidak ada gunanya bekerja di dewan yang hanya menjadi alat kolonial itu. Langkah dr. Sutomo diikuti pula teman-temannya, RH.M. Suyono, M. Sunjoto, dan Asmowinangun.
Perhatiannya terhadap ISC tidak pernah ditinggalkannya. Berkat pimpinannya, organisasi ini giat melakukan usaha-usaha yang berguna di bidang ekonomi dan sosial. Bersama teman-teman lain, dr. Sutomo memprakarsai berdirinya Bank Bumiputera yang dalam tahun 1929 menjadi Bank Nasional. Selain itu didirikan pula Yayasan Gedung Nasional (GNI) yang langsung dipimpin oleh dr. Sutomo. Gedung ini didirikan secara gotong royong berupa bantuan dari segala lapisan masyarakat, pegawai negeri, swasta, buruh, pedagang, petani, nelayan, bahkan seniman dan seniwati yang tergabung dalam ludruk Cak Durasin pun ikut menyumbangkan tenaga.
Pada tanggal 11 Oktober 1930 ISC berkembang menjadi partai, yakni ”Persatuan Bangsa Indonesia” (PBI) yang langsung diketuai oleh dr. Sutomo, partai ini berhaluan moderat dan cepat sekali berkembang, terutama di daerah Jawa Timur. Dengan terbentuknya partai ini maka kegiatan di bidang sosial ekonomi semakin menonjol. Hasil-hasilnya dapat dilihat dengan berdiri¬nya Rukun Tani, Rukun Pelayaran, Serikat Buruh, Koperasi, Bank Kredit, Pemeliharaan yatim-piatu. Pemberantasan Pengangguran dan lain-lain. Di bi¬dang pengajaran: merencanakan Sekolah Taman Kanak-kanak, mengusahakan bacaan untuk anak-anak SD, pemberantasan buta huruf dan lain-lain. Di bi¬dang politik dan pers: memberikan kursus-kursus politik, kursus kader dan lam-lain, menerbitkan surat kabar harian (Soeara Oemoem) dan mingguan (Penyebar Semangat). Dapat dikatakan kegiatan PBI meliputi semua kebutuhan manusia Indonesia, lahir dan batin untuk dapat menjadi bangsa yang mampu berdikari dalam mencapai tujuan memuliakan nusa dan bangsa Indo¬nesia. Pedomannya. ”Kebenaran dan Keadilan dengan bekerja atas dasar cinta kepada nusa dan bangsa Indonesia”.
Sebelum berkembang menjadi PBI, terlebih dahulu ISC sudah menggabungkan diri ke dalam PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang dibentuk pada langgal 17 Desember 1927. Didalam Kongres PPPKI yang pertama tanggal 30 Agustus – 2 September 1930, dr. Sutomo dipilih menjadi ketua dengan sekretaris Ir. Anwari. Kemudian dalam kongresnya bulan Maret 1932 ketua/sekretaris di Surabaya dipindahkan ke Jakarta dengan ketua M.H. Thamrin dan sekretaris Otto Iskandardinata. Pada bulan Desember 1933 Kongres Indonesia Raya di Sala yang diselenggarakan oleh PPPKI dilarang, karena Partindo pimpinan Ir. Sukarno dan Mr. Sartono yang dinyatakan sebagai partai terlarang adalah anggota PPPKI. Pembatalan itu diberikan oleh penguasa hanya beberapa hari sebelum kongres. Pemimpin-pemimpin partai sudah hadir di Sala, termasuk dr. Sutomo. Kesempatan itu oleh dr. Sutomo dimanfaatkan dengan mengadakan penjajagan kepada ”Budi Utomo” pimpinan K.R.M.H. Wuryaningrat untuk berfusi dengan Persatuan Bangsa Indonesia-Fusi Budi Utomo-Persatuan Bangsa Indonesia terlaksana dalam bulan Desember 1935 dan berganti nama menjadi ”Partai Indonesia Raya” (Parindra). Dokter Sutomo terpilih menjadi ketua dengan wakil ketuanya K.R.M.H. Wuryaningrat.
Kegiatan dr. Sutomo di dalam Parindra meningkat, baik di bidang politik maupun di bidang sosial ekonomi. Haluan partai tetap moderat dan membenarkan anggota-anggotanya duduk di dalam Dewan-dewan. M.H. Thamrin, Sukarjo Wiryopranoto, Otto Iskandardinata, RJP, Suroso adalah anggota Parindra yang duduk di dalam Volksraad (Dewan Rakyat).
Sebagai dokter, Sutomo penuh perikemanusiaan, beliau tidak menetapkan tarif pembayaran penderita, kecuali mempersilahkan siapa saja yang berobat untuk mengisi kotak yang sudah tersedia. Rakyat kecil yang tidak mampu di bebaskan dari pembayaran, bahkan seringkali diberinya uang untuk ongkos pulang. Dalam hal perikemanusiaan beliau tidak membeda-bedakan bangsa apa saja, sedang dalam tugas politiknya beliau gigih berjuang mencapai kemuliaan tanah air dan bangsanya dengan tidak segan-segan menentang penguasa kolonial.
Sutomo mempunyai banyak kawan di segala golongan dan lapisan masyarakat. Kawan dekatnya di golongan agama adalah Kyai Haji Mas Mansur. Karena persahabatan itu Sutomo banyak membantu Muhammadiyah Jawa Timur yang dipimpin oleh K.H. Mas Mansur dengan mendirikan poliklinik dan sebagainya.
Isterinya, seorang wanita Belanda, dicintai sepenuh jiwanya. Karena isteri itu sakit-sakitan, maka didirikanlah rumah untuknya di Claket di lereng pegunungan Penanggungan, daerah Malang. Segala sesuatu dilakukannya untuk menyembuhkan isterinya, namun tidak berhasil. Pada tanggal 17 Februari 1934 Sutomo mendapat musibah; isterinya meninggal dunia. Musibah itu dirasakan berat oleh dr. Sutomo seperti beliau lukiskan dalam bukunya ”Kenang-kenangan”. Empat tahun kemudian, Sutomo jatuh sakit dan baru sekali itu beliau sakit sejak masa dewasanya. Sakitnya makin hari makin parah dan jiwa¬nya tidak tertolong. Pada tanggal 30 Mei 1938 pukul 16.15 dr. Sutomo pu¬lang ke rahmatullah. Jenazahnya dikebumikan di belakang ”Gedung Nasional Indonesia”, Bubutan Surabaya, atas permintaannya sendiri.
Seorang yang berjiwa besar dan banyak sekali jasanya kepada bangsa dan tanah air Indonesia serta prikemanusiaan, dr. Sutomo telah pergi untuk selama-lamanya.
Pemerintah RI menghargai jasa-jasa Sutomo, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Rl No.657 Tahun 1961 tanggal 27 Desember 1961 dr. Suto¬mo dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sabtu, 07 Oktober 2017

Melenggak Sejenak ke Bukit Budug Asu

www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id - Bukit Budug Asu
Satu lagi tempat wisata sekaligus tempat swa foto yang terletak di daerah lawang malang yaitu bukit budug asu. Tempat yang dulunya sepi ini skarang menjadi tempat tujuan wisatawan domestic untuk berlibur menikmati pemandangan alamya nan indah, selain pemandangannya yang indah, disediakan juga spot spot untuk mengambil foto. Dalam sejarahnya nama bukit budug asu berawal dari jaman penjajahan belanda, dahulu terdapat sebuah perkampungan disekitar bukit, salah satu dari penduduk sekitar memiliki asu (anjing.jawa) yang sangat besar, namun dalam perjalanan si anjing terkena penyakit kulit yang menular dan berbahaya, yang biasa disebut budug oleh masyarakat jawa. Tak lama kemudian sang anjing mati, karena masyarakat sekitar takut akan tertular, lalu si anjing  dipemdam diatas bukit hingga  akhirnya bukit ini mendapat julukan sebagai bukit budug asu. Namun dari beberapa info nama bukit budug asu akan diganti.

Untuk dapat menuju kesini kita tinggal mencari dan menuju ke kebun teh wonosari singosari dari arah lawang, karena bukitnya tidak jauh dari kebun teh, bisa menggunakan motor/mobil pribadi yang nantinya bisa diparkir di kebun teh atau bisa menggukan angkutan umum yang tersedia, namun untuk angkutan umum ada jadwalnya. Setelah sesampainya di kebun teh wonosari, kita tinggal tanya ke warga sekitar arah budug asu. FYI aja untuk menuju kesini diperlukan kehati-hatian karena jalannya yang sangat sulit dan berbatu, apalagi saat musim hujan.
Jalur ini biasanya digunakan untuk olahraga motorcross atau offroad. Seperti pepatah bilang satu kali dayung dua tiga pulau terlampaui, jarak dari kebun the ke spot bukit sekitar 3km yang bisa kita laju dengan olahraga tracking, tapi hal itu tidak akan membuat anda lelah atau kecewa karena pemandangan sekitar menujuh ke sana sangatlah indah, sesampainya disana kita akan disuguhi dengan pemandangan luar biasa padang savana, gunung arjuno, view kota malang dan sekitarnya. Terdapat juga menara yang tidak cukup tinggi yang bisa membantu kita menikmati lukisan Tuhan yang luar biasa, dibawah menara terdapat spot photo dari papan kayu yang membentuk kepala asu/ anjing. Disana tak usah khawatir akan lapar atau haus karena sudah ada cafe atau penjual makanan dan minuman yang disediakan. Semoga tulisan ini bisa menjadi referensi untuk berlibur anda.

Biaya : 
  1. Karcis masuk = Rp. 5000/Orang
  2. Parkir Motor = Rp. 3000/Motor*
  3. Masuk Motorcros = Rp. 10.000/Motor
  4. Masuk Jeep = Rp. 25.000/Mobil
  5. Karcis masuk kebun teh = Rp.15.000/Orang
  6. Parkir motor kebun teh = Rp. 2000/Motor
*= Bila motor diparkir sekitar bukit
Sumber foto : Disini

Jumat, 06 Oktober 2017

Tradisi Manten Kucing

www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id -  Manten Kucing
“Manten Kucing” Ndudhuk, Ndhudhah, Lan Nggugah Warisan Tradisi Budaya Lokal
Hasanah budaya daerah merupakan cerminan bagi kebudayaan Nasional. Hal itu merupakan landasan utama untuk menunjukan jati diri Bangsa Indonesia. Berbagai macam tradisi budaya yang dimiliki Nusantara ini sangat beragam bentuknya, mulai dari budaya tradisi Ngaben di Bali , Sekaten di Yogyakarta , upacara Kasada di Bromo, dan budaya Manten Kucing di Tulungagung.
Prof. S. Budhisantoso mengungkapkan, bahwasanya setiap kali orang dapat berkata dengan bangganya, bahwa masyarakat Bangsa Indonesia yang majemuk ini sangat kaya dengan kebudayaan . Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu dianggap sebagai modal utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk meningkatkan penghasilan devisa. Namun demikian tidaklah banyak  orang yang mampu menjelaskan dengan baik di mana ke-bhineka-an (keragaman) serta ke-unggul-an masyarakat dan kebudayaan di Indonesia yang tersebar di Nusantara, dari Sa bang sampai Merauke (Zulyani Hidayah, 1999:ix).

Tradisi budaya lokal, potensinya sangat bagus apabila dikembangkan dengan serius. Sehingga dengan budaya lokal-Iah kita mampu mewujudkan budaya tingkat Nasional. Realitanya, banyak generasi muda di daerah tidak memperdulikan bahkan mereka tidak mengetahui tradisi budaya yang ada didaerahnya. Hal itu membuat keprihatinan tersendiri, sebab trend mode globalisasi lambat laun memusnahkan pola pikir anak terhadap tradisi budaya yang ada. Generasi muda lebih suka play station, game online dari pada melihat festival manten kucing.
Masyarakat yang dibantu oleh pemerintah , harus mampu menggali (Ndudhuk) potensi asset budaya daerah. Selain sebagai pendapatan daerah, tentunya budaya daerah tersebut dapat dijadikan sebagai simbol kedaerahan, atau cirri khas daerah. Ketika sudah menemukan (Ndudhah) tradisi yang ada maka untuk disegerakan pen gembangan dan memberdayakannya (Nggugah).
Kita tidak harus mengadili yang namanya trend globalisasi, sebab kalau kita berpikir secara aktif, dengan adanya perkembangan zaman tersebut kita mampu memanfaatkannya untuk mengembangkan budaya tradisi (Nggugah). Seperti halnya mempublikasikan melalui internet, media elektronik, dan facebook. Sehingga belum tentu perkembangan zaman ini akan memusnahkan keberadaan budaya tradisi daerah, melainkan kita harus mampu memanfaatkan perkembangan zaman ini untuk menumbuhkembangkan budaya tradisi kedaerahan.
Demikian pula seperti membangkitkan gairah pengembangan dan pemberdayaan tradisi lokal yang identik sebagai simbolisasi dalam memperkuat budaya Nasional. Manten Kucing, adalah tradisi budaya yang berada di Desa Pelem, Kecam atau Campurdarat, Kabupaten Tulungagung.
Tradisi budaya Manten Kucing ini merupakan tradisi masyarakat untuk meminta diturunkannya hujan, ketika musim kemarau panjang. Se hingga simbolisasi Manten Kucing ini ialah ritual untuk meminta hujan. Tradisi yang terkemas dalam wujud budaya, tentunya bisa dijadikan sebagai media pembelajaran. Orang Jawa, dalam tradisi budayanya memiliki unsur nilai-nilai tinggi, dan juga penyampaian pesan moral yang biasanya terwujud dalam bentuk upacara tradisi, seperti halnya; Manten Kucing, tradisi budaya yang terdapat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat , Kabupaten Tulungagung ini dilaksanakan upacaranya setiap tahun oleh masyarakat sekitar, dan juga pemerintah peran serta didalam pelaksanaannya.
Selain dijadikan media pembelajaran, tentunya upacara tradisi budaya yang ada di daerahdaerah dapat dijadikan sebagai focus objek wisata loka!. Menggali (Ndudhuk) potensi upacara tradisi tersebut sangatlah diperlukan, kalau perlu kita mempelajari nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seperti apa yang diungkapkan oleh Prof. Ayu Sutarta (2004:176), untuk membangun ketahanan budaya, kita harus menggali dan kemudian memilah-milah produk-produk budaya yang kita warisi dari para leluhur kita. Tidak semua produk budaya yang kita miliki konstruktif dan produktif. Ada beberapa produk budaya yang harus kita tinggalkan, karena tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman dan tidak lagi mampu menjawab kebutuhan zaman.
Semakin majunya teknologi komunikasi di zaman sekarang, penulis merasa takut apabila warisan budaya tradisi leluhur hanya tersimpan dalam bentuk audio-vidio. Sedangkan wujud budaya aslinya sudah musnah ditelan perkembangan zaman. Sehingga melihat kondisi semacam itu, generasi muda juga harus menjadi objek didalam pembelajaran tradisi budaya. Pengembangan dan pemberdayaan tradisi budaya yang ada di daerah selayaknya mulai dini dikenalkan kepada generasi muda (pelajar), salah satunya dengan memuat kurikulum muatan lokal, sanggar budaya, cafe budaya dan festival budaya.

1. Festival Manten Kucing
Manten Kucing merupakan tradisi budaya dari daerah Tulungagung. Pada tahun 2010, keberadaan tradisi budaya Manten Kucing difestivalkan dalam rangka memperingati Hari Jadi Tulungagung ke-805. Festival Manten Kucing  tersebut di-ikuti 19 (Sembilan belas) kecamatan yang ada di Kabupaten Tulungagung. Acara tersebut dilaksanakan pada hari kamis, 25 November 2010, kegiatan festival Manten Kucing tersebut berpusat di kawasan Kota Tulungagung.
Festival tersebut baru pertama kalinya diadakan di Kabupaten Tulungagung, hal itu untuk memperkenalkan kepada generasi muda, bahwasanya Manten Kucing adalah tradisi budaya khas Tulungagung. Tradisi Manten Kucing biasanya diadakan di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat tersebut merupakan upacara tradisi untuk meminta diturunkan hujan.
Uniknya di festival tersebut terdapat kolaborasi antara Manten Kucing dengan kesenian lain, antara Manten Kucing dengan Reog Gendang, Jaranan Jawa dan Hadrah (sholawatan). Sehingga kolaborasi tersebut mendapat sambuatan hangat dari masyarakat, begitu pula para pelajar saat festival itu juga ikut serta menonton. Secara tidak langsung akan menumbuhkan pengetahuan, pemahaman serta mengenali asset budaya tradisi Manten Kucing.
Dalam satu sisi, diadakannya festival Manten Kucing ini memang baik untuk memperkenalkan asset wisata budaya daerah. Namun disisi lain, kesakralan upacara Manten Kucing didalam festiva l tersebut sudah tidak terasa kesakralannya lagi. Sebab budaya sudah menjadi tontonan, bukan lagi tuntunan. Penulis merasakan kesakralan upacara Manten Kucing saat mengikuti prosesi upacara di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat. Sehingga simpulan sederhana adalah kita harus mampu untuk memilah-milah didalam mengembangkan dan memberdayakan asset wisata daerah, agar nilai-nilai dan pesan moralnya tidak hilang, bukan hanya sekedar hiburan.
Pergeseran nilai yang sangat mengkhawatirkan tersebut dapat kita lihat jelas, karena menggejala secara mencolok di sekitar kita, yang antara lain adalah; (1). Nilai moral lebih murah daripada nilai materi; (2). Tuhan terasa jauh dan uang terasa dekat; (3). Produk-produk budaya asing lebih digandrungi daripada produk-produk budaya sendiri; (4). Kepentingan agama, politik, dan ekonomi dicampur adukan, sehingga batas-batasannya menjadi jelas; (5). Kekerasan sering digunakan untuk menyelesaikan perbagai persoalan dalam masyarakat (Ayu Sutarta, 2004:173).
Sehingga untuk Ndudhuk, Ndhudhah dan Nggugah asset budaya daerah harus memiliki konsep yang matang. Mengembangkan dan memberdayakan asset budaya daerah tidak harus mengorbankan unsur nilai-nilai positif yang sudah ada. Dari dulu hingga sekarang, budaya adalah pembelajaran yang . konkrit dan fleksibel.

2. Selayang Pandang Manten Kucing
Mengenai sejarah keberadaan Manten Kucing , penulis merangkainya dari beberapa sumber yang penulis anggap masih berkompeten. Tradisi budaya Manten Kucing ini berada di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Menurut warga sekitar Desa Pelem, bahwasanya tradisi budaya Manten Kucing ini selalu diselenggarakan setiap tahun, dan juga penuh dengan kesakralan.
Uniknya didalam upacara tradisi Manten Kucing ini adalah sepasang kucing jantan dan betina. Awalnya daerah Desa Pelem dan sekitarnya dahulu kala dilanda kemarau panjang, hingga warga kesulitan untuk mendapatkan air. Eyang Sangkrah adalah tokoh yang membabat Desa Pelem, suatu ketika Eyang Sangkrah mandi di sebuah telaga, yaitu Telaga Coban.
Ketika Eyang Sangkrah mandi di Telaga Coban, Beliau membawa serta seekor kucing di telaga tersebut. Kucing Condro Mowo, sebutan kucing yang dibawa oleh Eyang Sangkrah, setelah di Telaga Coban kucing tersebut dimandikan. Anehnya, sepulang dari mandi di Telaga Coban, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Warga yang lama menunggu turunnya hujan, tidak bisa menyembunyikan perasaan syukur dan bahagia. Saat itulah, warga menyakini turunnya hujan tersebut ada kaitannya dengan peristiwa Eyang Sangkrah yang memandikan Kucing Condro Mowo. Sehingga tradisi tersebut menjadi tradisi, yang setiap tahun diselenggarakan oleh warga Desa Pelem , dengan sebutan tradisi budaya “Manten Kucing”.
Ketika Desa Pelem dijabat oleh Demang Sutomejo, tahun 1926, Desa Pelem , Kecamatan Campurdarat kembali dilanda kemarau panjang. Saat itu Demang Sutomejo mendapatkan wangsit (petunjuk) untuk mengadakan upacara memandikan kucing di Telaga Coban. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro Mowo. Kemudian, dua ekor kucing itu dimandikan di Telaga Coban . Akhirnya beberapa hari kemudian turunlah hujan mulai mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya.
Prosesi Manten Kucing ini, awalnya warga Desa Pelem mempersiapkan uburampe atau persiapan untuk mengadakan upacara Manten Kucing. Setelah persia pan selesai, maka prosesi kemudian adalah mengkirap kucing Condro Mowo yang diwadahi didalam keranji. Adapun kucing yang dimaksud didalam prosesi tersebut adalah berwarna putih dan hitam, yang terdiri dari kucing lanang (jantan) dan kucing wadon (perempuan). Saat pengkirapan tersebut, kucing lanang lan wadon berada di barisan paling depan sendiri, setelah itu di-ikuti oleh para sesepuh dan tokoh desa. Para sesepuh dan tokoh desa tersebut juga memakai pakaian khas adat Jawa.
Setelah sampai di Telaga Coban, kucing Condro Mowo dimandikan secara bergantian, sebelum ditemukan layaknya manten manusia. Kucing Condro Mowo tersebut dimandikan dengan air telaga yang dicampur dengan kembang setaman yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu.
Usai dimandikan, kedua kucing itu diarak menuju lokasi pelaminan. Di pelaminan tersebut sudah disiapkan aneka uburampe, pasangan kucing jantan dan betina itu dipertemukan. Laki-Iaki dan perempuan yang membawa kucing Condro Mowo, duduk bersandingan di kursi pelaminan. Sedangkan kucingnya, berada di pangkuan laki-Iaki dan perempuan yang juga memakai pakaian pengantin. Upacara pernikahan “Manten Kucing” tersebut ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan oleh sesepuh desa setempat. Kurang lebih 15 (lima belas) menit upacara tradisi budaya Manten Kucing sudah selesai.
Uniknya pad a tahun 2007, atau tiga tahun yang lalu ketika upacara tradisi Manten Kucing digelar, terdapat kearifal lokal yang dimunculkan. Ketika dipertemukan antara kucing jantan dan kucing betina, orang yang sudah tua (sesepuh) duduk dipelaminan sambil menyanyikan lagu-Iagu tradisional, seperti;
Uyek-Uyek RantiOno Bebek Pinggir KaliNuthuli Pari Sak UliTithit Thuiiit .. . Kembang Opo?Kembang-Kembang MenurDitandur Neng Pinggir SumurYen Awan Manjing Sak DhulurYen Bengi Dadi Sak Kasur
Setelah selesai prosesi Manten Kucing tersebut, maka acara selanjutnya adalah pagelaran seni budaya. Pagelaran seni tersebut adalah Tiban dan Langen Tayup. Kesenian Tiban disini adalah kesenian yang menggunakan cambuk yang terbuat dari lidi pohon aren yang dipilin sebagai alatnya. Ketika salah satu pemain Tiban tersebut mengeluarkan darah segar, maka menandakan prasyarat bahwa hujan akan turun.
Sehingga mulai dari prosesi Manten Kucing, Tiban, dan Langen Tayub, merupakan kesatuan ritual untuk memohon diturunkannya hujan. Tradisi budaya semacam itu merupakan simbolisasi nilai-nilai kearifan lokal orang Jawa. Saat ini tradisi budaya Manten Kucing bukan semata-mata meminta hujan,melainkan sudah menjadi upacara tradisi yang diadakan setiap tahun. Kalau tidak diselenggarakan, maka warga takut kalau terjadi kemarau panjang, maupun bala bencana melanda.

3. Konsep Tradisi Budaya
Tradisi budaya, merupakan dua suku kata, yaitu tradisi dan budaya. Sehingga dua suku kata tersebut merupakan gabungan kata yang menunjukan suatu keselarasan, yaitu; tradisi budaya. Menurut Kamus Lengkap Bahasa ‘Indonesia (Hoetomo, 2005:550), Trebekula adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa caracara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar, mentradisi: menjadi tradisi. Tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pad a norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun; menurut tradisi (adat). Adapun tradisionalisme adalah paham (ajaran dan sebagainya) yang berdasarkan pada tradisi.
Masyarakat adalah salah satu pencipta budaya, setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda. Sehingga dengan budaya, dapat membedakan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Disetiap masyarakat yang berbudaya akan menampakkan ciri khas yang berbeda, seperti; Manten Kucing dari Tulungagung , didalam upacaranya . menggunakan kucing sebagai media upacara. Kebudayaan mencakup suatu pemahaman komprehensif yang sekaligus bisa diurai dan dilihat beragam variab le dan cara pemahamannya. Kebudayaan dalam arti suatu pandangan yang menyeluruh menyangkut pandangan hid up, sikap, dan nilai. Atau menurut deskripsi Raymond Williams, “General state or habit of the mind general state of intellectua’l development in a society or a whole”. Disebutnya pula, “The general body of arts. A whole way of life, material, intellectual, spiritual”. (Jakob Oetam~, 2009:9, dalam bunga rampai judul buku Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat Memorial Lectures I-V/2004-2008, Perspektif Budaya). Budaya orang Jawa, selalu menitikberatkan akan pentingnya pembentukan moral yang baik. Moral merupakan kunci utama untuk membentuk kepriadian manusia yang berbudi luhur. Sehingga Nampak sudah budaya orang Jawa itu selalu menunjukkan nilai-nilai dan pesan moral positif. Dari berbudaya yang baik, maka akan menghasilkan nilai positif bagi masyarakat. Kebudayaan orang Jawa selalu menampakkan nilai norma-norma positif yang dipegang teguh dalam kehidupan keseharian .
Kata budaya berasal dari kata Sankseke rta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa asing lainnya terdapat kata-kata seperti culture (Inggris), cultuur (Belanda), atau kultur (Jerman). Kata-kata itu sebenarnya berasal dari bahasa Latin colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan , dan penggarapan tanah menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan, katakata itu juga diberi arti “pembentukan dan pemurnian “, misalnya pembentukan dan pemurnian jiwa. Menurut kaidah bahasa, culture atau cultuur diartikan menjadi “budaya”, sedangkan cultural atau culturele menjadi “kebudayaan “. Budaya merupakan kata benda, sedangkan “kebudayaan” adalah kata sifat (Mochamoed Effendhie, 2000: 1).

4. Simpulan
“Manten Kucing” merupakan tradisi budaya yang terdapat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Upacara prosesi Manten Kucing tersebut, terdapat nilai-nilai yang terkandung didalamnya, selain itu mempunyai pesan moral, seperti halnya; kita juga harus bersahabat dengan alam dan sekitarnya, guyub rukun dan saling tolong menolong.
Tradisi Manten Kucing sendiri pad a tahun 2010 yang bertepatan dengan Hari Jadi Tulungagung ke-805, dijadikan festival budaya. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan tradisi budaya Manten Kucing kepada khalayak umum, khususnya pelajar bahwasanya di Tulungagung terdapat tradisi · budaya Manten Kucing.
Adapun nilai-nilai yang dapat penulis tangkap dari prosesi Manten Kucing , diantaranya; Pertama, manusia memang diberi kelebihan oleh Sang Pencipta yang mempunyai, akal pikiran, budi pekerti, nalar, rasa dan karsa. Sehingga mewujudkan diri untuk memilik budaya positif. Sehingga dengan berbudaya yang baik, akan memberikan norma-norma positif di masyarakat.
Kedua, dengan adanya tradisi budaya Manten Kucing tersebut, warga saling dapat tolong menolong, hormat menghormati diantaranya. Sehingga kerukunan dan keselarasan hidup menjadi damai, tenang, dan sejahtera. Didalam prosesi Manten Kucing sendiri masyarakat diajak untuk Guyup Rukun.
Sebenarnya selain menjadi media pembelajaran, keberadaan Manten Kucing bisa dijadikan sebagai objek wisata loka!. Keberadaan asset wisata daerah itulah, maka akan menyokong keberadaan budaya Nasional. Dengan berbudaya yang baik, maka kita akan menjadi sosok manusia, masyarakat atau bahkan Negara yang berbudi luhur, saling menghormatu, tolong menolong, jujur dan sopan. Masyarakat Indonesia, khususnya di daerah-daerah dahulu terkenal dengan keramahtamahannya. Akankah dengan berbudaya baik, kita mampu mewujudkan sifat ramah dan tamah?
Sehingga istilah Ndudhuk, Ndhudhah dan Nggugah, merupakan rangkaian dalam menggali, menemukan dan mengembangan serta memberdayakan potensi budaya yang ada di daerah. Perkembangan zaman seperti sekarang ini, membuat tantangan tersendiri bagi kita untuk mampu mengolah perkembangan zaman itu untuk menumbuhkan asset budaya loka!. Berkat akal, pengalaman, dan kesadaran nurani, maka kita harus bergerak untuk mengolah potensi daerah menjadi asset yang berharga dan mempunyai nilai pendidikan.
Secara teoritis, kebudayaan akan mengajarkan nilai-nilai yang baik dan juga mencerminkan normanorma positif bagi generasi muda. Tinggal generasi muda (pelajar) mampu atau tidak untuk menangkap nilai yang terkandung didalam kebudayaan. Sebab kebudayaan sekarang ini sekedartontonan, bukan lagi sebagai tuntunan, realita yang ada.


Oleb Agus Ali Imron Al AkhyarStaf Peneliti Kajian Sejarah,Sosial dan Budaya{KS2B}Kabupaten TulungagungBENDE, Media Informasi Seni dan Budaya, Edisi 87,  Januari 2011

Tradisi Badhan di Trenggalek

www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id - Badhan(Silaturahim)
“Seje desa mawa cara” Lain desa lain tradisi. Pepatah Jawa itu berlaku untuk mengungkapkan tradisi unik masyarakat di Indonesia yang banyak memiliki keragaman dalam mem­peringati Hari Raya Idul Fitri. Salah satunya di Dusun Krajan, Desa Karang Tengah, Kabupaten Trenggalek. Di desa terpencil yang masuk wilayah Kecamatan Panggul itu ada tradisi Kenduri (selamatan) yang dilakukan pada malam hari setelah pagi harinya masyarakat melaksanakan Sholat Idul Fitri.
Tradisi kenduri di Desa Karang Tengah itu dilakukan di setiap ru­mah secara bergiliran. Praktis ma­syarakat dan ustadz yang diundang untuk mengikuti kenduri harus ikut berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain dalam satu malam ba’dha Sholat Isya’.
Menariknya, setiap orang yang ikut kenduri wajib memakan makanan yang disediakan di setiap rumah. Biasanya, menu makanan yang di­sediakan cukup sederhana, soto ayam, gulai, atau kare ayam.
Saat mengikuti tradisi kenduri itu, tidak sedikit pengikut kenduri yang mengaku perutnya sakit karena ke­kenyangan. Bayangkan saja, bila ikut kenduri di sepuluh rumah, praktis ha­rus makan sepuluh piring plus minum segelas teh dan kopi. Belum lagi kue lebarannya. “Tapi asyik, la wong ini tradisi. Ada keyakinan kebaikan di da­lamnya. Ada rasa tenteram bila sudah ber-badhan. Ini yang indah, di luar makanannya yang bikin kenyang,” kata Sucipto, remaja desa setempat.
Bahkan, banyak pula pengikut ken­duri yang memilih tidak melanjutkan mengikuti “slametan” yang digelar di setiap rumah dalam satu dusun. Ten­tunya, mereka tidak bisa lanjut lan­taran perutnya sudah penuh sesak.
Memang, di Dusun Krajan, ma­syarakat memiliki kebiasaan me­nyuguhkan kopi setiap ada tamu yang sonjo (bertamu) ke rumahnya.
Tradisi kenduri di setiap rumah pada malam Lebaran di Dusun Krajan ini biasanya dilakukan sekaligus un­tuk “ber-badhan”. Istilah “Badhan” sendiri artiya adalah bermaaf-maafan antar warga.
Menurut beberapa tokoh masyarakat setempat, istilah badhan berasal dari kata “bodho” atau dalam bahasa Indonesia berarti “setatah”, sehabis atau pasca.
Maksud dari istilah “badhan” ada­lah tradisi bermaaf-maafan setelah menjalankan Puasa Ramadhan selama sebulan penuh.
Cara ber-“badhan”, masyarakat di Trenggalek pun sangat unik. Berbeda degan masyarakat di daerah lain di Jawa Timur. Di Trenggalek, masya­rakat yang muda wajib malakukan sungkem badhan kepada orang yang lebih tua.
Cara meminta maaf pun dilakukan cukup lama, sebab yang muda terlebih dulu mengucapkan kalimat permin­taan maaf yang sangat penjang. Be­rikutnya, yang lebih tua menjawab permintaan maaf sekaligus meminta maaf kepada yang muda dengan ka­limat yang sangat panjang pula.
Dalam setiap sungkem badhan, bisa memakan waktu 3-4 menit. Oto­matis, bila kita ikut melakukan ba­dhan bersama-sama ke rumah kerabat yang lebih tua, harus rela antre cukup lama.
“Kalimat maaf yang panjang itu seperti sudah pakem. Tapi sekarang agak dikurangi durasinya. Apa sih di zaman ini yang tidak dikurangi hal-hal tradisi yang sejatinya baik itu,” kata Lasmi, teman Sucipto. (gus)

Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: SUARA DESA; Edisi 05 I 15 Juni -15 Juli 2012, hlm. 29

Masa Pra Perdikan Trenggalek

www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id - Logo Kab. Trenggalek
Sebelum diketemukan sumber yang bersifat tertulis maka daerah itu mengalami masa Prasejarah. Sedangkan di Trenggalek jaman Sejarah akan ditandai dengan adanya prasasti yang pertama kalinya muncul berbentuk prasasti Kampak atau dikenal dengan nama lahirnya Perdikan Kampak.
Pada jaman pra sejarah, Trenggalek telah dihuni oleh manusia dengan bukti diketemukannya benda-benda yang merupakan hasil jaman Nirlekha. Dari hasil penelitian serta lokaei benda-benda pra sejarah tadi dapatlah direkonatruksikan, per jalanan manusia-manusia pemula di daerah Trenggalek itu dalam beberapa jalur, yaitu :
Jalur Pertam, dari Pacitan menuju Panggul perjalanan diteruskan ke Dongko, dari Dongko menuju ke Pule kemudian – menuju ke Karangan dari sini dengan menyusuri sungai Ngasinan menuju ke Durenan. Kemudian  manusia – manusia Trenggalek purba itu melanjutkan perjalanan ke Wajak daerah Tulungagung.

Jalur kedua, berangkat dari Pacitan ke Panggul menuju Dongko, kemudian melalui tanjakan Ngerdani turun kedaerah Kampak laju ke Gandusari, dari sini perjalanan dilanjutkan ke Tulungagung.
Jalur ketiga, beranjak dari Pacitan menuju ke Panggul menyusuri tepi Samudra Indonesia menuju ke Munjungan, diteruskan ke Prigi lalu ke Wajak.

Demikianlah rekonatruksi perjalanan manusiar-manusia pra sejarah yang berlangsung bolak-balik antara Pacitan dengan Wajak. Jalur-jalur perjalanan tersebut dapat dibuktlkan dengan diketemukannya artefak-artefak jaman batu besar sepert: menhir, mortar, batu saji, batu dakon, palinggih batu, lumpang batu dsb. Yang kesemuanya benda-benda tadi tersebar di daerah-daerah bekas Jalur-jalur lalu-lintas mereka Itu.

HR. van Heekeren menyatakan bahwa Homowajakensis (manusia purba Wajak) hidup pada masa Plestosin atas, sedangkan peninggalan-peninggalan Pacitan berkisar antara 8.000 sampai 35.000 tahun yang lalu. Akibatnya masa megaliticum atau masa Neoliticum itulah yang meliputi daerah Trenggalek ketika dihuni oleh manuala Trenggalek purba.
Satu hal yang perlu dicatat disini bahwa manusia-manusia Trenggalek pada waktu itu dapat direkonstruksikan lebih tua dibandingkan dengan manusia Wajak dan lebih muda di banding dengan manusia-manusia Sampung Ponorogo.

Mengingat masa itu masyarakatnya sudah mengenal pertanian, maka dari segi soslal, masyarakat tadi sudah mengenal struktur atau stratifikasi sosial walaupun dalam bentuk sangat sederhana. Sedangkan masalah perekonomian dan kebudayaan telah pula mereka kenal dan mereka anut serta dikerjakan oleh masyarakat pendukungnya.

Beakhirnya masa prasejarah berarti dimulainya masa sejarah dimana tulisan mulai dikenal pada saat itu. Untuk itu perdikan Kampak merupakan tonggak sejarah Kabupaten – Trenggalek yang tidak dapat diabaikan. Lahirnya perdikan Kampak ditandai dengan adanya prasasti Kampak yang dibuat oleh raja Sindok pada t ahun 651 Syaka atau 929 Masehi. Dari prasasti itu dapat diketahui bahwa Trenggalek pada masa itu sudah memiliki daerah-daerah yang mendapatkan hak otonomi atau swatantra. Lebih jelas lagi diketengahkan bah­wa perdikan Kampak berbatasan dengan mahasamudra ( Samudra Indonesia ) disebelah Selatan yang pada waktu itu wilayahnya meliputi Panggul Munjungan dan Prigi. Selanjutnya disinggung pula daerah Dawuhan yang sekarang daerah ini juga masih dap at dijumpai di Trenggalek.

Setelah masa Pu Sindok dengan melalui masa raja Dharmawangsa lahirlah di Java Timur kerajaan Kahuripan yang diperintah oleh raja Airlangga. Hanya sayangnya pada masa ini tidak banyak diketahui kesejarahannya, dikarenakan tidak ditemuinya data atau mungkin belum diketemukannya data tentang ma­sa tersebut. Namun tidak dapat disangkal bahwa wilayah Trenggalek termasuk dalam kawasan Kahuripan yang kemudian berkesinambungan menjadi wilayah kerajaan Kediri. Dari jaman Kediri hanya ada beberapa hal yang dapat dicatat, utamanya pada masa ini dengan munculnya prasasti- Kamulan yang terletak didesa Kamulan Kecamatan Durenan – Kabupaten Trenggalek. Bertolak dari prasasti Kamulan dapat1ah diajukan suatu masa yakni lahirnya perdikan Kamulan.
Di dalam prasasti Kamulan dicantumkan tahun pembuatannya yaitu tahun 1116 caka atau tahun 1194 Masehi. Prasasti tadi dikeluarkan oleh raja Sri Sarweswara Triwikramawataranindita Sragga Lancana Dikwijayotunggadewa atau biasa dikenal dengan naoa Kertajaya. Raja inilah yang berhasil mengusir musuh-musuhnya dari daerah Katang-katang berkat bantuan rakyat Kamulan. Berdasar atas prasasti inilah ditetapkan “Hari Jadi Kabupaten Trenggalek pada hari  Rabu Kliwon ” tanggal 31 bulan Agustufi tahun 1194.

Hari dan tanggal tersebut dijadikan hari jadi atau hari la­hirnya Kabupaten Trenggalek berdasarkan data sejarah yang ditemui di Trenggalek antara lain :
Pertama, Prasejarah daerah Trenggalek menunjukkan – bahwa daerah itu telah dihuni manusia, tetapi jaman ini bersifat masih nisbi sekali.
Kedua, Prasasti Kampak tidak jelas hari dan tanggalnya kapan prasasti itu dilaksanak an isinya.
Ketiga, Hanya prasasti Kamulan yang memi1iki informasi cukup lengkap sehingga mampulah prasasti Kamulan dijadikan – tonggak sejarah lahirnya  Kabupaten Trenggalek secara analitis, historis, yuridie formal yang dapat dipertanggung jawabkan.


Drs. MUKAYAT, Tim Sejarah Kabupaten Trenggalek Dan Tim Konsultan IKIP MALANG: Ringkasan Sejarah Trenggalek , Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Trenggalek Pebruari 1982, hlm.7-10