www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id - Gerbang Makam Mbah Kuwu |
Cirebon
merupakan salah satu daerah sentral penyebaran Islam di Jawa Barat. Selama ini
masyarakat masyhur hanya mengenal Syarif Hidyatullah atau Sunan Gunung Jati
sebagai tokoh utama penyebar Islam di Jawa Barat, salah satunya di Cirebon.
Tetapi jika
ditelusuri lebih jauh, tokoh babad alas Islam di Cirebon atau orang yang
pertama kali membangun pondasi keislaman adalah Mbah Kuwu Sangkan (lahir
sekitar 1423 masehi). Atas peran sentralnya itu, Tim Anjangsana Islam Nusantara
STAINU Jakarta bergerak menelusuri jejak Mbah Kuwu di daerah Cirebon Girang,
Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Senin (23/1/2017).
Menurut
Peneliti Pusat Kajian Cirebon (Cirebonesse) IAIN Syekh Nurjati Mahrus el-Mawa,
Mbah Kuwu merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. “Masyarakat mengenal Mbah
Kuwu sebagai uwa-nya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,” ujar Mahrus
yang juga Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini.
Dalam
berbagai literatur menurut Mahrus, Mbah Kuwu mempunyai 5 nama yaitu Pangeran
Cakrabuana, Walang Sungsang, Haji Abdullah Iman, Syekh Somadullah, dan Mbah
Kuwu Sangkan Cirebon Girang itu sendiri.
Mbah Kuwu
Sangkan terlahir tiga bersaudara, yakni Mbah Kuwu Sangkan, Raden Kiansantang,
beserta Nyai Rarasantang dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang.
Sebagai
Putra Mahkota, Mbah Kuwu mewarisi sifat kepemimpinan ayahandanya, Prabu
Siliwangi. Hal ini terbukti dari pencapaiannya yang berhasil menduduki takhta
Cirebon di bawah Kerajaan Pasundan yang saat itu dipimpin Raja Galuh, dan Mbah
Kuwu merupakan raja pertama.
Perjuangan
Mbah Kuwu membangun Cirebon dan menyebarkan Islam dimulai pada usianya yang
kala itu masih menginjak 25 tahun. Ia mulai berdakwah, hingga mencapai
puncaknya saat ia menduduki singgasana kerajaan Cirebon, dari situ ia memiliki
kekuatan untuk memperluas wilayah dakwahnya.
Semasa
hidup, Mbah Kuwu memiliki dua istri, yakni Nyi Endang Golis dan Nyai Ratna
Lilis. Dari pernikahannya dengan Nyi Endang Golis dianugerahi keturunan Nyi
Pakung Wati yang kelak menjadi salah satu pendamping Syekh Syarif Hidayatullah.
Syekh
Syarif Hidayatullah sendiri merupakan
putra dari Nyai Rarasantang, adik Mbah Kuwu Sangkan. Sedangkan dari pernikahannya
dengan Nyai Ratna Lilis dianugerahi seorang putra bernama Pangeran
Abdurrokhman.
Menurut
beberapa catatan sejarah, Mbah Kuwu Sangkan menyukai sejumlah hewan, yakni
kucing Candra Mawa, Macan Samba, dan Kebo Dongkol Bule Karone. Ketiga hewan
tersebut diyakini sudah punah dan sekarang menurut kepercayaan orang setempat
ketiga hewan itulah yang menjaga makam Mbah Kuwu.
Bentuk dari
ketiga hewan tersebut dapat dilihat pada patung-patung hewan yang ada di
sekitar lokasi makam. Mbah kuwu menetap di daerah Cirebon Girang, Talun sampai
akhir hayatnya pada tahun 1500-an Masehi atau abad 16 awal. Sumber sejarah lain
menyebut, Mbah Kuwu Sangkan wafat tahun 1529 Masehi.
Pelopor
kebudayaan Pasundan Islami
Selain
Panglima Ulung, Mbah Kuwu Sangkan adalah Pelopor Kebudayaan pasundan Islami.
Dalam masa 4 abad lamanya yaitu menaklukkan Pajajaran, Keraton Ayahandanya yang
Hindu. Karena itu ia diberi gelar kehormatan Pangeran Cakrabuwana.
Pangeran
Cakrabuwana mulai memerintah Cirebon pada 1 Suro tahun 1445 Masehi. Waktu itu
ia belum mencapai usia 22 tahun. Memang masih terlalu muda, tetapi ia mampu
memegang kendali pemerintahan selama 38 tahun sejak tahun 1445 Masehi hingga
tahun 1479 Masehi.
Mbah Kuwu
juga memiliki kriteria kepeloporan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban
yang sangat tinggi. Ia senantiasa menaruh perhatian besar terhadap berbagai
macam Ilmu Pengetahuan, Sastra dan Seni Budaya, melestarikan dan
mengembangkannya.
Ayahnya,
Prabu Siliwangi telah mencurahkan perhatian dan mendidiknya dengan Ilmu kemiliteran,
politik dan kesaktian sejak kecil. Demi mencerdaskan anaknya, ia diserahkan
kepada ulama-ulama besar pada zamannya yang menguasai bidang kajian Ilmu Agama
Islam, Sastra, Falak dan Kesaktian. Mereka adalah Syekh Qurotullain, Syekh
Nurjati, Syekh Bayanillah, Ki Gde Danuwarsi, Ki Gde Naga Kumbang, dan Ki Gde
Bango Cangak.
Dakwah
Islam mulai menyebar luas di daerah Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu,
Subang, Sumedang, Purwakarta, Karawang, Priangan, Bogor yang kemudian mengalir
ke Banten.
Dari proses
dakwah tersebut, wilayah Keraton Cirebon menjadi satu antara bagian utara dan
selatan, antara Cirebon dan Banten. Kemudian, Ibu Kota Kerajaan Cirebon
dipindahkan ke Lemah Wungkuk. Di sana lalu didirikan Keraton baru yang
dinamakan Keraton Pakungwati.
Beberapa
sumber setempat menyebut, pendiri Keraton Cirebon adalah Pangeran Cakrabuwana.
Namun, orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah Kesultanan
adalah Syekh Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik
dengan Sunan Gunung Jati. Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati
adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuwana atau Mbah Kuwu Sangkan.
Di depan
makam sebelum memasuki gerbang, ada bangunan bernama Palinggihan Ichsanul
Kamil. Bangunan berwarna merah dan dikelilingi oleh pagar bercorak khas Islam
di wilayah Cirebon itu merupakan tempat meditasi Mbah Kuwu Sangkan untuk
berinteraksi dengan Tuhannya. Palinggihan sendiri berasal dari kata lungguh
yang berarti "duduk".
Sumber : NU