www.jelajahsejarah45.blogspot.co.id - Dr. Soetomo |
Suatu hari di akhir
tahun 1907 dokter pensiunan Wahidin Sudirohusodo singgah di Jakarta, beliau
sedang melakukan perjalanan ke berbagai daerah dalam rangka mempropagandakan
gagasannya tentang pembentukan sebuah badan yang akan menyediakan bea siswa
untuk anak-anak Indonesia yang cerdas tetapi tidak mampu membiayai sekolahnya.
Gagasan Wahidin itu
sudah tersebar agak luas, juga di kalangan pelajar STOV1A (School tot Opleiding
voor Inlandsche Artsen). Dua orang di antara para pelajar itu mendapat
kesempatan bertemu dan berbicara dengan Wahidin.
Mereka sangat tertarik
mendengar cita-cita Wahidin, salah seorang di antara pelajar itu mengatakan
kepada Wa¬hidin, ”Punika satunggiling pedamelan sae sarta nelakaken budi utama”
(itu suatu perbuatan baik dan menunjukkan budi yang utama).Pelajar STOVIA yang
mengucapkan kata-kata itu adalah Sutomo yang kemudian terkenal dengan nama
dokter Sutomo. la lahir pada tanggal 30 Juli 1888 di desa Ngepeh, Nganjuk, Jawa
Timur.
Waktu lahir beliau
diberi nama Subroto. Pergantian namanya menjadi Sutomo mempunyai sejarahnya
sendiri.Ayahnya R. Suwaji bekerja sebagai wedana di Maospati, Madiun, kemu¬dian
pindah bekerja menjadi ajun jaksa di Madiun. Anaknya tersebut disekolahkan pada
Sekolah Rendah Bumiputera, kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur agar
dapat masuk Sekolah Rendah Belanda (ELS = Europeesche Lagere School) Anak itu
ikut pada pamannya, Harjodipuro. Putera pamannya, Sahit, berhasil masuk ELS,
tetapi Subroto tidak diterima. Pamannya tidak putus asa, esok harinya
keponakannya yang ditolak masuk ELS itu dibawanya lagi ke sekolah itu. Tidak
dengan nama Subroto, tetapi diganti nama men¬jadi Sutomo. Dengan nama itu
beliau diterima di ELS. Setelah tamat pada ELS, beliau mengikuti keinginan
ayahnya melanjutkan ke STOVIA.Di STOVIA pada mulanya beliau tidak begitu
memperhatikan pelajarannya. Kesenangannya ialah menonton dan makan enak bersama
teman-temannya. Barulah pada tahun ketiga sikapnya berubah dan beliau pun
belajar dengan sungguh-sungguh. Beliau lulus dari STOVIA pada tahun 1911.Tetapi
sebelum itu, Sutomo telah melakukan sesuatu yang membuat namanya akan tercatat
dalam sejarah bangsanya. Kurang lebih empat bulan sesudah bertemu dengan dokter
Wahidin, beliau memimpin pertemuan yang dihadiri oleh para pelajar STOVIA.
Sutomo berpidato dengan
tenang tanpa emosi, menjelaskan gagasannya secara singkat, terang dan jelas.
Pertemuan yang bersejarah itu dilangsungkan di salah satu ruang STOVIA pada
tanggal 20 Mei 1908. Dalam pertemuan itu mereka sepakat membentuk sebuah
organisasi yang diberi nama ”Budi Utomo”. Sutomo dipilih sebagai ketuanya.
Organisasi itu adalah organisasi modern pertama yang didirikan di Indonesia.
Hari lahirnya, 20 Mei, kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional,
karena ternyata Budi Utomo telah mendorong berdirinya organisasi-organisasi
bahkan partai-partai politik di kemudian hari. Gedung STOVIA di mana Budi Utomo
lahir sekarang menjadi ”Gedung Kebangkitan Nasional”.
Budi Utomo tidak lahir
begitu saja dan Sutomo tidak bekerja seorang diri. Bersama Sutomo terdapat
nama-nama lain seperti Suraji, yang ikut bersama Sutomo menemui dr. Wahidin,
Moh. Saleh, Sarwono, Gunawan, Gumbrek dan Angka yang kelak semuaya menjadi
dokter. Berbulan-bulan lamanya mereka merencanakan pembentukan sebuah
organisasi. Mereka pergi dari ruang kelas yang satu ke ruang kelas yang lain di
STOVIA untuk memperkenalkan gagasan mendirikan organisasi, dalam kegiatan itu
Sutomo lah yang banyak berbicara.
Berdirinya Budi Utomo
dapat dianggap sebagai realisasi gagasan Wahi¬din . Tetapi jangkauan organisasi
itu melebihi dari apa yang dimaksud oleh Wahidin. Budi Utomo tidak hanya ingin
memajukan pelajaran, tetapi juga pertanian, pertukangan kayu, kulit dan
lain-lain, disamping memajukan kebudayaan Jawa serta mempererat persahabatan
penduduk Jawa dan Madura. Di bidang pendidikan Budi Utomo bertujuan untuk
mendirikan sekolah-sekolah, rumah-rumah sewaan untuk anak-anak sekolah/asrama
dan mendirikan perpustakaan-perpustakaan.
Untuk merealisasi
maksud dan tujuan itu, Sutomo dan kawan-kawannya mengadakan hubungan dengan
pelajar-pelajar dari kota-kota lain. Dengan cara demikian berdirilah
cabang-cabang Budi Utomo di Bogor, Bandung dan Magelang. Hubungan diadakan pula
dengan orang-orang Indonesia yang menduduki jabatan dalam pemerintahan di
daerah-daerah untuk menarik simpati mereka, antara lain dengan Bupati
Temanggung, Bupati Japara, Banten, dan P.A.A. Kusumojudo yang tinggal di
Jakarta.
Organisasi yang semula
dipimpin oleh anak-anak muda yang idealis ini akhirnya dipimpin oleh golongan
tua, sebagai hasil keputusan Kongres yang pertama pada awal Oktober 1908 di
Yogyakarta. Dalam kongres itu sudah nampak perbedaan pendapat antara golongan
muda yang radikal dengan golo¬ngan tua yang terlalu berhati-hati, karena itu
gerak organisasi menjadi lamban.
Dalam Kongresnya yang
kedua pada bulan Oktober 1909 Sutomo masih nampak hadir, tetapi setelah itu
namanya hampir-hampir tidak disebut-sebut lagi di dalam Budi Utomo. Agaknya
beliau merasa kecewa melihat perkembangan Budi Utomo, karena itu beliau lebih
memusatkan perhatian kepada pelajaran. Dalam tahun 1911 Sutomo berhasil
menyelesaikan pendidikannya di STOVIA dan sejak saat itu pula beliau berhak
memakai gelar dokter, maka mulailah tugasnya sebagai dokter. Mula-mula beliau
ditempatkan di Semarang, tetapi kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain
seperti Tuban, Lubuk Pakam (Sumatera Timur), Malang, Blora dan Baturaja
(Sumatera Selatan). Dalam tahun 1919 beliau mendapat kesempatan belajar di
Negeri Belanda. ke¬mudian di Jerman Barat dan Austria.
Sewaktu di Negeri
Belanda Sutomo menggabungkan diri ke dalam ”Indische Vereeniging”’, perkumpulan
pelajar-pelajar Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi ”Indonesische
Vereniging” dan akhirnya menjadi Perhimpunan Indonesia. Beliaupun pernah
menjadi ketua organisasi ini, yakni tahun 1920-1921.
Sekembalinya dari
Negeri Belanda, Sutomo bekerja sebagai dosen di NIAS (Nederlandsch Indische
Artsen School) di Surabaya. Budi Utomo tidak lagi menarik perhatiannya,
walaupun pernah diancam akan dikeluarkan dari STOVIA gara-gara mendirikan
organisasi tersebut. Tetapi perhatiannya terhadap perkembangan masyarakat tidak
pernah surut. Hanya;cara yang ditempuhnya sekarang berbeda. Beliau bermaksud
menghimpun golongan terpelajar dan bersama-sama dengan mereka melakukan
usaha-usaha yang berguna bagi ma¬syarakat. Untuk maksud itu pada tanggal 11
Juli 1924 Sutomo mendirikan ”Indonesische Studie Club ” (ISC). Tujuan ISC ialah
mempelajari dan memperhatikan kebutuhan rakyat. Organisasi ini ternyata menarik
perhatian kaum terpelajar, bukan saja cendekiawan Indonesia, tetapi juga
cendekiawan Belan¬da, yakni Koch dan Tilleman yang terkenal berpendirian
progresif.
Kegiatan dan kedudukan
Sutomo dalam masyarakat membawa beliau ke jenjang politik praktis. la diangkat
menjadi anggota Dewan Kota (Gemeen-teraad) Surabaya. Dalam dewan ini beliau
memperjuangkan nasib rakyat antara lain mengusulkan perbaikan kesehatan dan
nasib mereka, tetapi usul-usulnya selalu dikalahkan oleh suara terbanyak yang
tidak berorientasi kepada rakyat, tetapi kepada pemerintah kolonial. Ketika
usulnya mengenai perbaikan kampung ditolak, sedangkan usul menambah kebersihan
dan perbaikan tempat kediaman orang-orang Belanda diterima, dr. Sutomo langsung
meminta berhenti dari keanggotaan Dewan Kota. la berpikir tidak ada gunanya
bekerja di dewan yang hanya menjadi alat kolonial itu. Langkah dr. Sutomo diikuti
pula teman-temannya, RH.M. Suyono, M. Sunjoto, dan Asmowinangun.
Perhatiannya terhadap
ISC tidak pernah ditinggalkannya. Berkat pimpinannya, organisasi ini giat
melakukan usaha-usaha yang berguna di bidang ekonomi dan sosial. Bersama
teman-teman lain, dr. Sutomo memprakarsai berdirinya Bank Bumiputera yang dalam
tahun 1929 menjadi Bank Nasional. Selain itu didirikan pula Yayasan Gedung
Nasional (GNI) yang langsung dipimpin oleh dr. Sutomo. Gedung ini didirikan
secara gotong royong berupa bantuan dari segala lapisan masyarakat, pegawai
negeri, swasta, buruh, pedagang, petani, nelayan, bahkan seniman dan seniwati
yang tergabung dalam ludruk Cak Durasin pun ikut menyumbangkan tenaga.
Pada tanggal 11 Oktober
1930 ISC berkembang menjadi partai, yakni ”Persatuan Bangsa Indonesia” (PBI)
yang langsung diketuai oleh dr. Sutomo, partai ini berhaluan moderat dan cepat
sekali berkembang, terutama di daerah Jawa Timur. Dengan terbentuknya partai
ini maka kegiatan di bidang sosial ekonomi semakin menonjol. Hasil-hasilnya dapat
dilihat dengan berdiri¬nya Rukun Tani, Rukun Pelayaran, Serikat Buruh,
Koperasi, Bank Kredit, Pemeliharaan yatim-piatu. Pemberantasan Pengangguran dan
lain-lain. Di bi¬dang pengajaran: merencanakan Sekolah Taman Kanak-kanak,
mengusahakan bacaan untuk anak-anak SD, pemberantasan buta huruf dan lain-lain.
Di bi¬dang politik dan pers: memberikan kursus-kursus politik, kursus kader dan
lam-lain, menerbitkan surat kabar harian (Soeara Oemoem) dan mingguan (Penyebar
Semangat). Dapat dikatakan kegiatan PBI meliputi semua kebutuhan manusia
Indonesia, lahir dan batin untuk dapat menjadi bangsa yang mampu berdikari
dalam mencapai tujuan memuliakan nusa dan bangsa Indo¬nesia. Pedomannya.
”Kebenaran dan Keadilan dengan bekerja atas dasar cinta kepada nusa dan bangsa
Indonesia”.
Sebelum berkembang
menjadi PBI, terlebih dahulu ISC sudah menggabungkan diri ke dalam PPPKI
(Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang
dibentuk pada langgal 17 Desember 1927. Didalam Kongres PPPKI yang pertama tanggal
30 Agustus – 2 September 1930, dr. Sutomo dipilih menjadi ketua dengan
sekretaris Ir. Anwari. Kemudian dalam kongresnya bulan Maret 1932
ketua/sekretaris di Surabaya dipindahkan ke Jakarta dengan ketua M.H. Thamrin
dan sekretaris Otto Iskandardinata. Pada bulan Desember 1933 Kongres Indonesia
Raya di Sala yang diselenggarakan oleh PPPKI dilarang, karena Partindo pimpinan
Ir. Sukarno dan Mr. Sartono yang dinyatakan sebagai partai terlarang adalah
anggota PPPKI. Pembatalan itu diberikan oleh penguasa hanya beberapa hari
sebelum kongres. Pemimpin-pemimpin partai sudah hadir di Sala, termasuk dr.
Sutomo. Kesempatan itu oleh dr. Sutomo dimanfaatkan dengan mengadakan
penjajagan kepada ”Budi Utomo” pimpinan K.R.M.H. Wuryaningrat untuk berfusi
dengan Persatuan Bangsa Indonesia-Fusi Budi Utomo-Persatuan Bangsa Indonesia
terlaksana dalam bulan Desember 1935 dan berganti nama menjadi ”Partai
Indonesia Raya” (Parindra). Dokter Sutomo terpilih menjadi ketua dengan wakil
ketuanya K.R.M.H. Wuryaningrat.
Kegiatan dr. Sutomo di
dalam Parindra meningkat, baik di bidang politik maupun di bidang sosial
ekonomi. Haluan partai tetap moderat dan membenarkan anggota-anggotanya duduk
di dalam Dewan-dewan. M.H. Thamrin, Sukarjo Wiryopranoto, Otto Iskandardinata,
RJP, Suroso adalah anggota Parindra yang duduk di dalam Volksraad (Dewan
Rakyat).
Sebagai dokter, Sutomo
penuh perikemanusiaan, beliau tidak menetapkan tarif pembayaran penderita,
kecuali mempersilahkan siapa saja yang berobat untuk mengisi kotak yang sudah
tersedia. Rakyat kecil yang tidak mampu di bebaskan dari pembayaran, bahkan
seringkali diberinya uang untuk ongkos pulang. Dalam hal perikemanusiaan beliau
tidak membeda-bedakan bangsa apa saja, sedang dalam tugas politiknya beliau
gigih berjuang mencapai kemuliaan tanah air dan bangsanya dengan tidak
segan-segan menentang penguasa kolonial.
Sutomo mempunyai banyak
kawan di segala golongan dan lapisan masyarakat. Kawan dekatnya di golongan
agama adalah Kyai Haji Mas Mansur. Karena persahabatan itu Sutomo banyak
membantu Muhammadiyah Jawa Timur yang dipimpin oleh K.H. Mas Mansur dengan
mendirikan poliklinik dan sebagainya.
Isterinya, seorang
wanita Belanda, dicintai sepenuh jiwanya. Karena isteri itu sakit-sakitan, maka
didirikanlah rumah untuknya di Claket di lereng pegunungan Penanggungan, daerah
Malang. Segala sesuatu dilakukannya untuk menyembuhkan isterinya, namun tidak
berhasil. Pada tanggal 17 Februari 1934 Sutomo mendapat musibah; isterinya
meninggal dunia. Musibah itu dirasakan berat oleh dr. Sutomo seperti beliau lukiskan
dalam bukunya ”Kenang-kenangan”. Empat tahun kemudian, Sutomo jatuh sakit dan
baru sekali itu beliau sakit sejak masa dewasanya. Sakitnya makin hari makin
parah dan jiwa¬nya tidak tertolong. Pada tanggal 30 Mei 1938 pukul 16.15 dr.
Sutomo pu¬lang ke rahmatullah. Jenazahnya dikebumikan di belakang ”Gedung
Nasional Indonesia”, Bubutan Surabaya, atas permintaannya sendiri.
Seorang yang berjiwa
besar dan banyak sekali jasanya kepada bangsa dan tanah air Indonesia serta
prikemanusiaan, dr. Sutomo telah pergi untuk selama-lamanya.
Pemerintah RI
menghargai jasa-jasa Sutomo, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Rl No.657
Tahun 1961 tanggal 27 Desember 1961 dr. Suto¬mo dianugerahi gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.